Lafadz bismi dalam kalimat Basmalah merupakan gabungan dari dua kata, yaitu
bii dan ismuu. Ba’atau (dibaca bi) yang
diartikan “dengan” mengandung satu
kalimat yaitu memulai, sehingga bismillah berarti, kami/saya memulai sebuah
pekerjaan (membaca al-fatihah) dengan nama Allah.
Penulisan
kata “bismi” dalam basmalah tidak
menggunakan huruf “alif”, berbeda dengan kata yang sama pada suroh Iqra’, yang
tertulis dengan tata cara penulisan baku yakni menggunakan huruf alif. Pakar
tafsir al-qurthubi berpendapat bahwa penulisan tanpa huruf Alif pada
Basmalah adalah karena pertimbangan praktis semata-mata. Dalam artian kalimat
ini sudah dikenal (populer) dikalangan orang arab masa dulu, sehingga untuk
mempersingkat tulisan maka ditulis tanpa Alif. Namun tidak menghilangkan maksud dari kata bismi itu sendiri.
Rasyad
Khalifah berpendapat bahwa ditanggalkannya huruf “alif” pada lafadz bismi, agar
jumlah huruf-huruf ayat ini menjadi sembilan belas huruf, tidak dua puluh. Hal
ini karena 19 mempunyai rahasia yang berkaitan dengan al-Qur’an. Dengan kata lain, jika alif tetap di pasang dalam kalimat Basmalah, maka akan merusak terhadap rahasia-rahasia yang berkaitan dengan Al-Quran tersebut.
Pada dasarnya Alquran
turun dengan membawa perspektif baru untuk mengubah pandangan orang arab masa
dulu. Yaitu dengan cara memberikan suatu hal yang telah dikenal namun
memberikan konsep yang berbeda dari apa yang telah mereka pahami sebelumnya.
Kata Allah
Lafadz Allah
merupakan kata yang sudah dikenal dan sering dijadikan bahan omongan (sumpah)
masyarakat masa dulu, seperti Abu Sofyan, Abu Jahal dll. Contoh, ketika raja
Abrahah mengambil unta milik Abdul Muthallib, dia melaknatnya dengan memakai
bahasa “wallahi, Engkau dilaknat oleh
Allah”. Dan bukti berikutnya yaitu nama ayah nabi Muhammad yang menggunaan
kata Allah yaitu “Abdullah”. (bukti historis).
Allah berfirman “ Dan jika engkau bertanya kepada mereka,
siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Pasti
mereka akan menjawab, Allah” (QS Al-Ankabut 61). (bukti ayat).
Konsepsi
masyarakat tentang tuhan pada saat itu adalah bahwa mereka mempercayai Allah
sebagai tuhan, namun mereka juga mempercayai adanya sekutu dan
tandingan-tandingan (tuhan kecil) selain Allah. “ dan mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah” (QS. Ar-Ra’d:
33). Mereka mempercayai adanya tuhan
kecil seperti Latta, Uzza, Manaf dan lainnya semata-mata sebagai mediator untuk
mendekatkan diri kepada Allah. “kami
tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS Az-Zumar: 3).
Hal ini
berkaitan erat dengan Syahadah orang islam yaitu: “laa ilaaha illa Allah”. Kata ilah yang pertama merupakan
tuhan-tuhan kecil (kepercayaan masyarakat arab
dulu tentang konsep tuhan) yang seringkali dijadikan alasan sebagai
mediator mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan ilah (Allah) yang berikutnya
adalah tuhan yang sebenarnya (hakiki).
Dengan
konsepsi ketuhanan seperti ini, maka Allah mengatakan secara tegas sebagai
bantahan tehadap konsep tersebut “ katakanlah
(Muhammad), Dialah Allah yang Esa” (QS Al-Ikhlas 1). Maka sangat tepat jika
surah tersebut diberi nama Al-Ikhlas (memurnikan) dengan tujuan memurnikan Tuhan (Allah) dari tuhan-tuhan kecil. Di
dalam surah lain: “ dan Tuhan kamu adalah
Tuhan yang Esa” (QS. Al-Baqarah 163).
Kemudian
Al-Quran memberikan konsepsi baru tentang tuhan yaitu:
Kata Ar-Rahman
Konsep
Ar-Rahman berbeda dengan konsep Allah. Masyarakat Arab dulu tidak mengenal kata
tersebut sama sekali. Dan apabila
dikatakan kepada mereka, sujudlah kepada yang maha pengasih itu? Mereka
menjawab: Siapakah yang maha pengasih itu? (QS Al-Furqan 60).
Bukti
historis yang meunjukkan bahwa masyarakat Arab dulu belum mengenal kata
Ar-Rahman yaitu ketika perjanjian Hudaibiyah.
Berawal
dari mimpi Rasulullah yang melihat dirinya bersama para sahabat memasuki
masjidil haram, mengambil kunci ka’bah, melaksanakan thawaf dan umrah.
Terilhami dari mimpi tersebut Rasulullah bersama para sahabat yang berjumlah
1400-1500 orang berangkat ke mekkah tanpa membawa senjata, tujuan mereka adalah
thawaf dan umroh. Di lembah hudaibiyah, niat tersebut dihalangi oleh kafir
Quraisy. Saya tidak akan bercerita tentang peristiwanya, langsung kepada proses
penulisan perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah dengan kaum kafir quraisy
yang diwakili oleh suhail.
Ketika
telah disepakati butir-butir perjanjian antara Rasulullah dan kafir
quraisy, Rasulullah meminta Ali bin Abi Thalib ra untuk menulis butir-butir
perjanjian tersebut dan beliau sendiri yang mendiktekannya.
Ketika
Rasulullah mendikte kepada Ali kalimat “Bismillahir rahmanir rahim”. Suhail
langsung menyela “tentang Ar-Rahman, demi Allah aku tidak tahu siapa dia.
Karena itu, tulislah ‘Bismika Allahumma”. Kemudian nabi menyetujui dan
menggantinya mengikuti permintaan suhail.
Kemudian
Rasulullah kembali memerintahkan Ali menulis kalimat “ini adalah perjanjian
yang ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah (utusan Allah)”. Suhail kembali
menyela, “kalau kami mengakui bahwa engkau adalah Rasulullah (utusan Allah),
tentu kami tidak akan menghalangimu untuk memasuki masjidil haram, kami juga
tidak akan memerangimu. Tapi tulislah “Muhammad bin Abdullah”.
Nama Abdurrahman bin
Auf, secara kata nama ini bisa melemahkan kepada anggapan bahwa kata Arrahman
belum pernah dikenal oleh masyarakat Arab masa itu. Namun justru sebaliknya
menguatkan bahwa masyarakat belum pernah mengenal kata Ar-Rahman. Abdurrahman
bin Auf memiliki nama asli Abu Amru, yang berarti pelayannya amru Beliau lahir
pada tahun ke-10 Tahun Gajah, yangberarti 10 tahun lebih muda daripada
Rasulullah SAW. Beliau dipanggil Abdur-rahman oleh Rasulullah SAW setelah
beliau masuk islam. Dalam artian nama Abdurrahman dia dapat setelah dia masuk
Islam.
Ar-Rahman
ar-Rahim
Kata
Ar-Rahman dan Ar-rahim berakar dari kata rahim yang berarti rahmat. Ar-rahman
digambarkan bahwa Tuhan mencurahkan rahmat-Nya. Hal ini berarti semua
makhluk yang ada dimuka bumi ini mendapat rahmat, baik itu manusia, hewan,
tumbuhan. Dari kalangan islam, yahudi, nashrani atau lainnya dengan tanpa susah
payah mendapatkannya.
Sedang dengan
ar-Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada
diri-Nya. Hal ini bisa diartikan bahwasanya rahim Allah hanya diberikan kepada
sesuatu dan tempat yang kekal yaitu di akhirat kelak. Dengan melakukan usaha-usaha sesuai dengan yang
diperintahkan oleh Allah. sifat Rahim ini dierikan kepada orang-orang yang
bertaqwa (beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan orang-orang yang
berinfaq QS Albaqarah: 3 ).
No comments:
Post a Comment