Pemilihan
kepala daerah DKI Jakarta memang masih belum dimulai, bakal calon Gubernur dan
Wakil Gubernur juga belum ada, namun suasana persaingan pemilihan Gubernur DKI
Jakarta kian memanas. Rumor yang santer diberitakan di berbagai media bahwa Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok yang sekarang masih menjabat sebagai Gubernur DKI
Jakarta akan tampil kembali dalam pemilihan Gubernur periode 2017-2022
mendatang. Sejumlah nama yang juga berniat maju di Pilgub DKI Jakarta adalah
Yusril Mahendra, Adyaksa Dault, serta pasangan Ahmad Taufik-Mujtahid Hasyem.
Yang
paling menyita perhatian publik adalah pernyataan Ahok dan pasangan Ahmad
Taufik-Mujtahid Hasyem yang akan maju pada Pilgub 2017 mendatang melalui jalur
independen. Nampaknya, jumlah orang yang bertekad maju dalam persaingan Pilkada
terus bertambah. Hal inilah yang menjadi polemik serta menjadi keresahan di
kalangan Parpol.
Menillik
ke belakang, contoh calon
independen yang berhasil memenangkan pemilihan kepala daerah sudah ada. Pasangan
Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar yang sukses merebut kursi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
Keberhasilan serupa disusul calon independen pasangan Christian N Dillak, SH- Zacharias P Manafe (Rote
Ndou, Nusa Tenggara Timur), OK Arya Zulkarnaen-Gong Martua Siregar (Kabupaten
Batubara, Sumatera Utara) dan Aceng Fikri-Raden Dicky Chandra (Kabupaten Garut,
Jawa Barat). Hasil seperti ini tak menutup kemungkinan akan terjadi pada pilgub
DKI Jakarta juga.
Dengan fakta ini, calon ketua daerah
yang maju melalui jalur independen mempunyai peluang cukup besar untuk
mengalahkan calon yang diusung oleh parpol dalam pertarungan memperebutkan
kursi kekuasaan. Hal ini merupakan bukti bahwa kepercayaan rakyat terhadap partai
politik semakin memudar. Di tambah dengan problem-problem internal parpol yang
seringkali menghiasi media baik elektronik atau cetak.
Calon independen muncul bukan tanpa
sebab. Masyarakat sudah jenuh melihat kinerja partai politik yang buruk. Parpol tidak lagi memiliki kader-kader yang
dianggap layak untuk menduduki jabatan sebagai kepala daerah.
Kaderisasi Partai
Pada pesta demokrasi Desember 2015
lalu menjadi bukti nyata bahwa kaderisasi yang dilakukan oleh parpol tidak
berjalan dengan baik. Kurangnya sumber daya manusia menjadi alasan klasik
parpol dalam mempersiapkan kadernya. Padahal pemilihan kepala daerah merupakan agenda
rutin yang mewajibkan bagi partai untuk menyodorkan kadernya yang mampu dan siap
menjadi kepala daerah.
Penilaian ini di kuatkan berdasarkan hasil survei Indeks
Demokrasi Indonesia (IDI) 2014 lalu yang dipublikasikan Kementerian
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Dalam survei tersebut, sepanjang tahun
2014, parpol nyaris tidak melakukan proses regenerasi. Indeks tersebut
menggunakan penilaian dari skala 0 sampai 100 dengan metode review surat
kabar lokal, review dokumen,
focus group discussion, dan
wawancara mendalam.
Hal senada juga dikemukaan oleh Syairif Hidayat, seorang
peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa pada tahun 2014 tidak
ada kaderisasi karena parpol sibuk dengan urusan pemilu. Akibatnya, pada pesta
demokrasi 2015 parpol kewalahan menyiapkan kadernya sebagai calon kepala
daerah.
Kasus gugurnya pasangan Rasiyo dan
Dhimam Abror yang diusung Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN)
untuk menjadi walikota Surabaya 2015
lalu menjadi bukti nyata ketidaksiapan parpol. Pasangan tersebut gugur karena
dianggap tidak bisa memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan Wali Kota dan
Wakil Wali Kota Surabaya oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Surabaya.
Dilihat
dari fungsi dan tujuan partai politik adalah mencetak calon pemimpin, baik
daerah ataupun nasional. Jika dalam pencalonan tersebut terdapat masalah, maka
masalah terbesar teletak pada proses kaderisasi.
Jadi
diamati secara lebih mendalam, terdapat kegagalan besar dalam proses rekrutmen
parpol dalam mencari kader-kader yang berintegritas dan siap memimpin. Jika
terus dibiarkan maka proses kaderisasi partai akan stagnan bahkan semakin
mundur dalam melahirkan kader-kader pemimpin bangsa.
Kembali
pada Khitah Partai Politik
Dengan fakta diatas, seharusnya menjadi
pecut semangat bagi partai politik untuk kembali kepada khitahnya. Memperbaiki kinerja
dan mengambil peran penting dalam melahirkan calon-calon pemimpin bangsa guna
membantu menyejahterakan rakyat. Jika tidak, partai politik hanya akan menjadi
penghancur dan penghambat terbesar untuk membangun kesejahteraan bangsa.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008, khitah partai politik adalah berjuang dan membela kepentingan bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan tujuan partai politik adalah sarana komunikasi politik, sarana
sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik.
Oleh sebab itu, khitah dan tujuan
partai politik harus segera dikembalikan. Jangan sampai sebatas dijadikan
kendaraan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memperoleh
kekuasaan semata. Sebab, hal itu akan mempengaruhi terhadap kinerja parpol dan
menambah catatan buruk bagi masyarakat.
Jika partai politik telah berjalan
sesuai khitah dan tujuannya, maka bisa dipastikan keadaan politik di Indonesia
akan semakin baik sehingga mampu membawa kesejahteraan bagi bangsa.
Wallahu A’lam Bis-Shawab
No comments:
Post a Comment