بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Beriman
Kepada al-Qur’an Secara Rasional
Oleh: Dr.
Mohammad Nasih
Pengajar di
Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ;
Pendiri Rumah
Perkaderan Monash Institute http://monash-institute.co.nr.
Pendahuluan
Al-Qur’an
menegaskan dirinya sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan. Bukan
karangan Muhammad secara pribadi. Bukan pula hasil persekutuan antara dirinya
dengan pihak-pihak lain, tepatnya jin, yang saat itu diyakini bisa memberikan
bantuan kepada manusia dengan cara merasuk ke dalamnya. Penegasan ini bahkan
disampaikan di bagian awal beberapa surat yang bisa dipahami agar sangat
diperhatikan.
تَنْزِيلُ
الْكِتَابِ
مِنَ اللَّهِ
الْعَزِيزِ
الْحَكِيمِ -
إِنَّا
أَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ
الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ ...
(الزمر: 1-2)
Artinya: “Kitab (al-Qur'an ini)
diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesunguhnya Kami
menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa) kebenaran. ... ”
(al-Zumar: 1-2).
تَنْزِيلُ
الْكِتَابِ
مِنَ اللَّهِ
الْعَزِيزِ
الْعَلِيمِ
(غافر: 2)
Artinya: “Kitab (al-Qur'an ini)
diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
(Ghafir: 2).
تَنْزِيلٌ
مِنَ
الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ (فصلت:
2)
Artinya: “(Kitab al-Qur'an ini)
diturunkan dari Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat:
2).
تَنْزِيلُ
الْكِتَابِ
مِنَ اللَّهِ
الْعَزِيزِ
الْحَكِيمِ (الجاثية: 2)
Artinya: “Kitab (al-Qur'an ini)
diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(al-Jatsiyah:2, al-Ahqaf: 2).
Penjelasan
tentang diri sendiri inilah yang kemudian sering menimbulkan permasalahan. Sebab,
tidak mungkin sebuah buku atau kitab yang berisi ajakan dan ajaran justru menyatakan
bahwa ia mengandung keraguan dan bahkan kekeliruan atau kesalahan. Pasti ia
akan selalu menyatakan bahwa ia adalah kebenaran yang layak dan sudah seharusnya
dipercaya dan diikuti tanpa keraguan[1]
oleh setiap yang membacanya, layaknya sebuah iklan yang tidak mungkin
menjelekkan produk yang dipromosikannya sendiri.
Bagi
mereka
yang belum meyakininya, tentu penegasan al-Qur’an itu bisa dipandang sebagai
klaim sepihak.
Bahkan,
bagi orang yang mayakininya sekalipun, tidak menutup kemungkinan masalah bisa
muncul. Sebab, secara faktual, sebagian besar mereka tidak mampu menjelaskan
tentang alasan beriman kepada al-Qur’an, karena tidak memiliki bukti yang nyata.
Beriman yang tidak didasarkan kepada bukti yang nyata berarti hanyalah dugaan
belaka. Dan dugaan bersifat sangat subjektif. Orang yang beriman secara subjektif
tentu akan sulit untuk mengajak atau membuat orang lain juga memiliki keimanan
yang sama. Sebab, argumennya tidak akan sulit dipahami atau diterima oleh orang
lain. Karena
itu,
penegasan tentang kebenaran al-Qur’an memerlukan uji kebenaran.
Pengakuan
kepada kebenaran al-Qur’an sebagai firman Tuhan adalah sebuah sikap yang sangat
penting. Sebab, pengakuan tersebut adalah satu langkah untuk menerimanya
sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia (hudan li al-nâs). Sebagai
panduan, al-Qur’an harus diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Yang
menjadi masalah, di dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali pernyataan tentang
hal-hal yang seolah-seolah bertentangan dengan panca indera dan bahkan akal
sehat. Namun, sejatinya itu merupakan salah satu bukti nyata bahwa panca indera
dan akal manusia sangatlah terbatas. Dan justru karena itulah, wahyu sangat
diperlukan untuk memandu ilmu pengetahuan yang diupayakan oleh manusia. Wahyu
menjadi pemicu, pemacu, dan sekaligus pengarah ilmu agar sampai kepada limit
mendekati hakikat kebenaran.
Kebenaran
al-Qur’an sebagai kalam Tuhan bisa dilihat pada berbagai fakta
yang tersaji dalam al-Qur’an sendiri. Setidaknya, ada empat hal yang menjadi
bukti nyata tentang kebenaran al-Qur’an sebagai firman Tuhan, yaitu: (1) aspek ketinggian
bahasa sastra yang tidak tertandingi, (2) Nabi Muhammad adalah seorang ummi ketika
menerima wahyu, (3)
ketepatan prediksi-prediksinya, dan
(4) temuan-temuan modern. Semua
itu merupakan hal-hal yang dengan mudah terverifikasi oleh panca indra dan akal
dengan usaha-usaha optimal. Karena itu, logika sederhana yang bisa digunakan
dalam konteks ini adalah apabila pernyataan al-Qur’an mengenai hal-hal yang
bisa diverifikasi terbukti benar, maka pernyataannya mengenai hal-hal yang
tidak terverifikasi, seperti malaikat, alam kubur, qiyamat, akhirat, surga, dan
neraka, juga harus dianggap sebagai kebenaran. Semua itu harus ditempatkan
sebagai hal-hal yang ghaib yang membutuhkan keimanan. Dan keimanan kepadanya
dengan menggunakan logika tersebut bukan sekedar dugaan, melainkan karena dasar
yang sangat rasional.
Aspek Ketinggian Bahasa
Setiap
rasul diutus dengan bahasa kaumnya. Bahasa dalam konteks ini bisa dipahami
dengan pengertian yang luas, termasuk juga tingkat pemikiran dan cara berpikir
mereka. Di antara para rasul tersebut diutus dalam konteks masyarakat
yang membangga-banggakan sesuatu tertentu yang ada pada mereka. Misalnya, Nabi
Musa diutus kepada masyarakat yang memuja-muja sihir. Maka oleh Tuhan, Nabi
Musa diberi mu’jizat yang melebihi kemampuan tukang-tukang sihir Fir’aun.
Tukang-tukang sihir Fir’aun mampu “mengubah” tali-tali yang ada di hadapan
mereka menjadi ular. Nabi Musa lebih dari itu, memiliki tongkat yang
setelah dilemparkan bisa berubah menjadi ular yang lebih besar dan
memakan semua ular hasil rekaan tukang-tukang sihir Fir’aun.
Sedangkan Nabi
Isa datang kepada masyarakat yang mempunyai kemampuan tinggi dalam masalah
ketabiban. Profesi sebagai seorang tabib adalah profesi yang sangat prestisius
dalam masyarakat kala itu. Karena itu, Allah
memberikan kepadanya mu’jizat berupa kemampuan untuk menyembuhkan orang
buta bawaan, lepra, dan bahkan suatu kali menghidupkan
kembali orang yang sudah mati.
Nabi Muhammad datang dalam konteks
masyarakat yang memuja para penyair dan produk sya’ir mereka. Karena itu, Allah
memberikan mu’jizat kepadanya berupa kitab suci, al-Qur’an, yang bernilai sastra sangat tinggi yang jauh
melampaui ketinggian hasil karya sastra para pujangga Arab Pagan.
Ibnu al-Mandhur dalam magnum opusnya, Lisân
al-‘Arab, memberikan banyak penjelasan
tentang konteks yang berkaitan dengan kata-kata syi’r. Sebagaimana Ibnu al-Mandhur, Toshihiko Izutsu,
seorang pakar linguistik dari Jepang, dalam kajian semantiknya juga menjelaskan
kondisi sosio-historis masyarakat Arab waktu itu. Di dalam masyarakat Arab Pagan, penyair mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi, karena dianggap sebagai kekayaan dan sekaligus
kekuatan suku. Penyair juga dianggap mempunyai kemampuan-kemampuan lebih yang
oleh karena itu dijadikan sebagai pemimpin suku pada masa damai dan masa
perang. Ucapan-ucapannya dipercayai mempunyai kekuatan melebihi serdadu dengan
senjata dan tombak, karena mempunyai kekuatan magis yang dapat mengalahkan
musuh. Bahkan lebih dari itu,
ketika seorang penyair dari suku tertentu diserang dengan menggunakan sya’ir
oleh penyair dari suku yang lain, maka ia harus membalasnya. Sebab, kalau itu
tidak dilakukan, tidak hanya dia yang dianggap kalah, akan tetapi sukunya pun
ikut merasa dan dianggap kalah dan terhinakan.
Mereka berkepercayaan bahwa para penyair dan
juga tukang tenung adalah tipe orang-orang yang setiap saat dapat dimasuki
kekuatan supranatural yang tak terlihat yang memberikan inspirasi kepada
mereka. Kekuatan supranatural ini biasa disebut dengan jin. Jadi, sya'ir yang
dibuat oleh para penyair pada waktu itu dipandang sebagai hasil karya kolaboratif antara sang penyair dengan
kekuatan supranatural itu, yang oleh masyarakat Arab kala
itu diyakini bahwa kekuatan supranatural itu
melayang-layang di udara. Demikian juga kata-kata yang keluar dari tukang
tenung yang dipercaya sebagai orang yang bisa meramal, adalah juga kata-kata
yang berasal dari jin yang memberikan informasi kepadanya
tentang kejadian masa depan atau hal-hal yang tidak diketahui oleh masyarakat
umum.
Dalam pandangan mereka juga, jin tidak
merasuk kepada sembarang orang, tetapi memilih orang-orang tertentu yang
disukainya. Apabila orang yang disukai itu ditemukan, jin merasuk ke dalam diri
orang tersebut dan menjadikannya sebagai penyambung lidahnya. Orang seperti
inilah yang dimaksud dengan "penyair" dalam pengertian semantik yang
paling awal, yakni orang yang mempunyai pengetahuan supranatural, karena
mendapatkan informasi dari jin.
Dalam pandangan masyarakat Arab Pagan,
setiap penyair mempunyai jin sendiri-sendiri dan dianggap sebagai teman akrab.
Sebab itu, ketika seorang penyair tidak mampu mengucapkan sya'ir balasan ketika
mendapat serangan dari penyair lain, maka ia akan mengatakan bahwa yang
menyebabkannya tidak mampu bukanlah kebodohannya, akan tetapi karena
"teman akrab"nya tidak mengucapkan kata-kata kepadanya.
Dalam konteks masyarakat seperti inilah, Nabi Muhammad diutus
untuk menyampaikan ajaran Tuhan. Karena itu,
orang-orang yang tidak mempercayai kerasulannya, menganggap Nabi Muhammad tak
ubahnya penyair-penyair Arab Pagan lainnya. Ketika Nabi Muhammad mewartakan
kebenaran kepada mereka yang kebenaran itu berbeda dengan
kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya yang diberikan oleh para pujangga
Arab Pagan, maka mereka mencela dan mengejek Nabi Muhammad,
juga menentangnya dengan tentangan yang keras.
Sikap ingkar mereka kepada kerasulan Nabi Muhammad
dengan mu’jizat al-Qur’an dideskripsikan oleh al-Qur’an dalam banyak ayat.
أَمْ
يَقُولُونَ
شَاعِرٌ
نَتَرَبَّصُ
بِهِ رَيْبَ
الْمَنُونِ
Artinya: "Atau
mereka berkata: “Dia adalah penyair yang kami
tunggu-tunggu kecelakaannya" (al-Thûr: 30).
وَقَالُوا
يَا أَيُّهَا
الَّذِي
نُزِّلَ
عَلَيْهِ الذِّكْرُ
إِنَّكَ
لَمَجْنُونٌ
Artinya: "Wahai orang yang diturunkan
Alquran kepadanya, sesungguhnya kamu adalah orang yang majnûn."
(al-Hijr: 6),
وَيَقُولُونَ
أَئِنَّا
لَتَارِكُو
آلِهَتِنَا
لِشَاعِرٍ
مَجْنُونٍ
Artinya: "Apakah kami harus
meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair majnûn ini?"
(al-Shâffât: 36).
Al-Qur’an berusaha meyakinkan bahwa Nabi
Muhammad bukanlah seorang penyair yang dirasuki jin,.
مَا
أَنْتَ
بِنِعْمَةِ
رَبِّكَ
بِمَجْنُونٍ
Artinya: “Berkat rahmat Tuhanmu, engkau
(Muhammad) sekali-kali bukanlah orang yang majnûn (dirasuki jin)”. (Nûn: 3).
فَذَكِّرْ
فَمَا أَنْتَ
بِنِعْمَتِ
رَبِّكَ
بِكَاهِنٍ
وَلَا
مَجْنُونٍ
Artinya: “Maka
ingatlah, berkat rahmat Tuhanmu, engkau
(Muhammad) sekali-kali bukanlah tukang tenung,
bukan pula orang yang majnûn (dirasuki jin)”. (Al-Thur:
29)
Apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad
tersebut sesungguhnya bukan berasal dari jin, melainkan berasal dari Allah,
Tuhan segala alam.
إِنَّهُ
لَقَوْلُ
رَسُولٍ
كَرِيمٍ (40)
وَمَا هُوَ
بِقَوْلِ
شَاعِرٍ
قَلِيلًا مَا
تُؤْمِنُونَ
(41) وَلَا
بِقَوْلِ
كَاهِنٍ قَلِيلًا
مَا
تَذَكَّرُونَ
(42) تَنْزِيلٌ
مِنْ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
(43) وَلَوْ
تَقَوَّلَ عَلَيْنَا
بَعْضَ
الْأَقَاوِيلِ
(44) لَأَخَذْنَا
مِنْهُ
بِالْيَمِينِ
(45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا
مِنْهُ
الْوَتِينَ (46)
فَمَا مِنْكُمْ
مِنْ أَحَدٍ
عَنْهُ
حَاجِزِينَ
Artinya: "Sesungguhnya Al Quran
itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan al-Quran itu bukanlah perkataan
seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula
perkataan seorang tukang tenung. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas
(nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.
Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali
tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari
pemotongan urat nadi itu." (al-Hâqqah: 40-47).
Dalam konteks ini, terdapat kekeliruan
dalam mengartikan majnun dalam al-Qur’an terjemahan kita. Kata tersebut
diartikan dengan gila. Terjemahan tersebut keliru karena kurang tepat dalam
menangkap latar belakang budaya sastra masyarakat Arab jahiliyah. Masyarakat
Arab jahiliyah memiliki kepercayaan bahwa para pujangga (syâ’ir, syu’ara’)
adalah orang yang memiliki kemampuan mengeluarkan kalimah-kalimat keindahan
sastra tinggi atau sangat puitis. Kata sya'ir sendiri menurut Ibn
al-Mandhur berasal dari kata sya'ara atau sya'ura, artinya adalah
memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang tidak diketahui oleh orang
kebanyakan.
Dan
dalam pandangan masyarakat Arab jahiliyah, mereka memiliki kemampuan itu karena
mendapatkan bantuan jin yang merasuk dalam diri mereka. Karena itu, Nabi
Muhammad sebagai penyampai al-Qur’an yang memiliki keindahan bahasa tinggi itu
disamakan dengan para pujangga Arab yang majnun (kerasukan jin) itu.
Dari
uraian di atas, persoalannya menjadi jelas bahwa sesungguhnya yang ingin
ditegaskan oleh al-Qur’an adalah bahwa Nabi Muhammad dan al-Qur’an tidaklah
sama dengan pujangga-pujangga Arab dan produk-produk sya’ir mereka. Dan dengan
demikian, ketinggian aspek kebahasaan al-Qur’an harus diakui sebagai sebuah
kenyataan yang itu hanya bias terjadi, karena Allah Swt.. Dan yang lebih
penting lagi, al-Qur’an berisi tentang ajaran-ajaran kebenaran yang Nabi
Muhammad menjadi contoh terbaik dalam menjalankannya. Ada beban moral atas Nabi
Muhammad untuk tidak sekedar mengatakan atau menyampaikan al-Qur’an dengan
bahasa yang indah itu. Berbeda dengan para pujangga Arab yang hanya sekedar
menyampaikan kata-kata indah, tetapi mereka tidak menjadi pelakunya. Kritik ini
disampaikan oleh al-Qur’an:
وَالشُّعَرَاءُ
يَتَّبِعُهُمُ
الْغَاوُونَ
(٢٢٤) أَلَمْ
تَرَ
أَنَّهُمْ
فِي كُلِّ وَادٍ
يَهِيمُونَ
(٢٢٥)
وَأَنَّهُمْ
يَقُولُونَ
مَا لا
يَفْعَلُونَ
(٢٢٦)
Artinya: “Dan penyair-penyair itu diikuti
oleh orang-orang yang sesat.
Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri
tidak mengerjakan(nya).” (al-Syu'araa:
224-226)
Karena berbagai upaya untuk meyakinkan
masyarakat Arab Pagan bahwa al-Qur’an benar-benar wahyu dari Allah dan bukanlah
karya sastra yang merupakan perkataan seseorang yang dirasuki jin, maka
al-Qur’an menyatakan:
قُلْ
لَئِنِ
اجْتَمَعَتِ
الْإِنْسُ
وَالْجِنُّ
عَلَى أَنْ
يَأْتُوا
بِمِثْلِ
هَذَا الْقُرْآنِ
لَا
يَأْتُونَ
بِمِثْلِهِ
وَلَوْ كَانَ
بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ
ظَهِيرًا (الاسراء:
88)
Artinya: “Katakanlah: "Sesungguhnya
jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian
mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (al-Isra’: 88)
Pernyataan
al-Qur’an tersebut sesungguhnya merupakan tantangan kepada mereka yang menuduh
bahwa Nabi Muhammad adalah penyair sebagaimana para pujangga Arab saat itu dan
ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikannya tidak lain merupakan karya sastra yang
dihasilkannya. Dan karena mereka tidak memberikan kesanggupan untuk memberikan
tandingan kepada al-Qur’an secara keseluruhan yang pada akhirnya terdiri atas
114 surat, maka tantangan al-Qur’an kemudian diturunkan menjadi hanya untuk
membuat 10 surat saja.
أَمْ
يَقُولُونَ
افْتَرَاهُ
قُلْ فَأْتُوا
بِعَشْرِ
سُوَرٍ
مِثْلِهِ
مُفْتَرَيَاتٍ
وَادْعُوا
مَنِ
اسْتَطَعْتُمْ
مِنْ دُونِ
اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ
صَادِقِينَ
فَإِنْ لَمْ
يَسْتَجِيبُوا
لَكُمْ
فَاعْلَمُوا
أَنَّمَا أُنْزِلَ
بِعِلْمِ
اللَّهِ
وَأَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا
هُوَ فَهَلْ
أَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ
Artinya: “Justru mereka berkata, “Dia
(Muhammad)lah yang telah mengarang Al-Qur’an. Katakan ‘datangkanlah sepuluh
surat semisalnya yang dikarang! Dan ajaklah selain Allah yang kalian mampu
mengajak! Jika kalian telah benar pernyataannya!’.” Jika mereka mutlak tidak
bisa mengabulkan tantangan ini pada kalian, maka ketahuilah bahwa sungguh al-Qur’an diturunkan dengan memuat
ilmu Allah. Tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Bukankah kalian mau
masuk Islam?.” (Hud: 13-14).
Bahwa al-Qur’an tak akan tertandingi,
al-Qur’an menegaskan dengan menyatakan bahwa walaupun para penentang al-Qur’an
mengumpulkan semua pihak yang dianggap mampu, maka tak akan mampu mendatangkan
yang semisalnya.
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة: 23)
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu
surat (saja) yang semisal al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS. al-Baqarah: 23)
Tantangan demi tantangan
al-Qur’an itu
mendapat jawaban dari beberapa tokoh yang sebelumnya dianggap sebagai pujangga,
di antaranya adalah Musailamah Bin Habib yang kemudian mengaku sebagai nabi
yang juga mendapatkan wahyu dari Allah. Ia membuat gubahan-gubahan yang
dimaksudkan untuk menandingi al-Qur’an. Untuk menandingi surat al-Fîl, dia
membuat gubahan berikut ini:
الفيل-
ما الفيل- وما
أدراك ما
الفيل- له ذنب وَبِيل - وخرطوم
طويل
Gajah. Apa itu gajah? Tahukah
engkau apa itu gajah? Ia mempunyai ekor yang buruk;
dan belalai
yang panjang.
Musailamah juga membuat gubahan dengan
maksud menandingi surat al-Ashr: 1-3. Ibnu Katsiir menyebutkan dalam tafsirnya:
ذكروا أن
عمرو بن العاص
وفد على
مسيلمة الكذاب
[لعنه الله]
وذلك بعد ما
بعث رسول الله
صلى الله عليه
وسلم وقبل أن
يسلم عمرو،
فقال له
مسيلمة: ماذا
أنزل على
صاحبكم في هذه
المدة؟ قال
لقد أنزل عليه
سورة وجيزة
بليغة. فقال:
وما هي؟ فقال: " وَالْعَصْرِ
إِنَّ
الإنْسَانَ
لَفِي خُسْرٍ
إِلا
الَّذِينَ
آمَنُوا
وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
" ففكر مسيلمة
هُنَيهة ثم
قال: وقد أنزل
علي مثلها.
فقال له عمرو:
وما هو؟ فقال:
يا وَبْر يا
وَبْر، إنما
أنت أذنان وصَدْر،
وسائرك حفز
نَقْز. ثم قال:
كيف ترى يا عمرو؟
فقال له عمرو:
والله إنك
لتعلم أني
أعلم أنك تكذب
Artinya: ”Mereka
menyebutkan bahwasannya ’Amr bin al-’Ash ra. pernah diutus menemui Musailamah Al-Kadzdzab. Hal itu
berlangsung setelah pengutusan (bi’tsah) Rasulullah saw. dan
sebelum dia (’Amru bin Al-’Aash) masuk Islam. Musailamah Al-Kadzdzab bertanya
kepada ’Amru bin Al-’Aash: ’Apa yang telah diturunkan kepada shahabatmu (yaitu
Rasulullah saw.) selama ini ?’. Dia menjawab :
’Telah diturunkan kepadanya satu surat ringkas namun sangat padat’. Dia
bertanya: ’Surat apa itu ?’. Dia (’Amr) menjawab: ”Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman
dan beramal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan
nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (al-’Ashr
: 1-3). Kemudian Musailamah berpikir sejenak. Setelah itu ia berkata: ’Dan
telah diturunkan pula hal yang serupa kepadaku’. Kemudian ’Amr bertanya
kepadanya: ’Apa itu ?’. Musailamah berkata : ’Hai kelinci, hai kelinci;
Sesungguhnya kamu memiliki dua telinga dan satu dada; Dan semua jenismu suka
membuat galian dan lubang’. Kemudian Musailamah bertanya: ’Bagaimana menurut
pendapatmu wahai ’Amru ?’. ’Amru berkata kepadanya: ’Demi Allah, sesungguhnya
aku tahu bahwa engkau telah berdusta’” (Tafsiir Ibn Katsîr, Jilid VIII hal. 479).
Gubahan
lain yang dibuatnya adalah:
Bersamaan
dengan keindahan bahasanya, al-Qur’an menyampaikan berbagai ajaran substansial
yang sangat menggugah dan menggetarkan.
Kesalahan pandangan bahwa al-Qur’an bernilai
sastra tinggi tersebut terjadi karena kesalahan dalam memahami dua kata kunci,
yakni majnûn dan syi’r (dan kata-kata turunan-turunannya) yang
terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an. Kesalahan pengertian ini di antaranya
terjadi dalam al-Qur’an terjemahan Departemen Agara RI yang menerjemahkan majnûn
ke dalam bahasa Indonesia dengan “gila”. Kemudian, para mufassir (penafsir
al-Qur’an) terutama yang menggunakan metode ijmali (global) tidak memberikan
pengertian yang cukup tentang makna syi’r dan majnûn dengan
menguraikan latar belakang sosio-historis masyarakat Arab pagam kaitannya
dengan kegilaan mereka terhadap karya sastra.
Nabi Muhammad
Seorang Ummi
Sebelum
menjadi rasul, Muhammad dikenal oleh masyarakat Arab sebagai al-amin, yakni
orang yang bisa dipercaya, karena sepanjang hidupnya tidak pernah berdusta. Apa
saja informasi yang bersumber darinya adalah kebenaran. Namun, keberadaan
al-Qur’an kemudian menyebabkan sebagian besar masyarakat Arab yang sebelumnya
mempercayainya kemudian mendustakannya. Salah satu pendustaan yang dilakukan
oleh para penentang Nabi Muhammad adalah mendelegitimasi al-Qur’an sebagai
kalam Tuhan. Mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad telah menyalin
informasi-informasi yang ada sebelumnya yang kemudian dikompilasinya menjadi
al-Qur’an.
وَقَالُوا
أَسَاطِيرُ
الْأَوَّلِينَ
اكْتَتَبَهَا
فَهِيَ
تُمْلَىٰ
عَلَيْهِ
بُكْرَةً
وَأَصِيلًا (الفرقان:
5)
Dan mereka berkata: "Dongengan-dongengan
orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan
itu kepadanya setiap pagi dan petang. (al-Furqân: 5)
Tuduhan para penentang kerasulan
Muhammad ini disangggah oleh al-Qur’an bahwa Muhammad tidak pernah membaca
maupun menulis isi kitab-kitab yang ada sebelumnya. Sanggahan al-Qur’an ini
menolak pandangan para penentangnya yang sebagiannya adalah pengikut Yahudi dan
Kristen bahwa Nabi Muhammad hanya menyadur informasi-informasi yang ada dalam
Kitab Taurat dan Injil.
وَمَا
كُنتَ
تَتۡلُواْ
مِن
قَبۡلِهِۦ
مِن كِتَـٰبٍ۬
وَلَا
تَخُطُّهُ ۥ
بِيَمِينِكَۖ
إِذً۬ا
لَّٱرۡتَابَ
ٱلۡمُبۡطِلُونَ
(العنكبوت: ٤٨)
Dan
kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) satu Kitab pun dan kamu tidak (pernah)
menulisnya dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis),
benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (al-Ankabût: 48).
Al-Qur’an memperkuat penolakan tersebut dengan menyatakan
bahwa Nabi Muhammad adalah seorang ummi, yakni orang yang tidak bisa menulis
dan membaca.
الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ
الرَّسُولَ
النَّبِيَّ
الْأُمِّيَّ
الَّذِي
يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا
عِنْدَهُمْ
فِي
التَّوْرَاةِ
وَالْإِنْجِيلِ
يَأْمُرُهُمْ
بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَاهُمْ
عَنِ
الْمُنْكَرِ
وَيُحِلُّ
لَهُمُ
الطَّيِّبَاتِ
وَيُحَرِّمُ
عَلَيْهِمُ
الْخَبَائِثَ
وَيَضَعُ
عَنْهُمْ
إِصْرَهُمْ
وَالْأَغْلَالَ
الَّتِي
كَانَتْ
عَلَيْهِمْ
فَالَّذِينَ
آمَنُوا بِهِ
وَعَزَّرُوهُ
وَنَصَرُوهُ
وَاتَّبَعُوا
النُّورَ
الَّذِي أُنْزِلَ
مَعَهُ
أُولَئِكَ
هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
(الأعراف: 157)
”(Yaitu)
orang-orang yang mengikuti seorang Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-A’râf: 157).
Kebenaran Prediksi dalam al-Qur’an
Al-Qur’an
tidak hanya berbicara tentang kejadian-kejadian masa lalu yang bisa dijadikan
sebagai i’tibar (‘ibrah), tetapi juga berbicara mengenai masa depan,
bahkan kehidupan setelah dunia (akhirat). Prediksi mengenai masa depan
merupakan sebuah tindakan berisiko, karena jika prediksi tersebut salah, maka
pemberi informasi akan mengalami delegitimasi. Namun, al-Qur’an melakukannya
dan ternyata prediksi tersebut benar. Al-Qur’an juga memberikan informasi
mengenai berbagai hal yang kebenaran faktualnya belum bisa disaksikan dan
kemudian bisa disaksikan.
Prediksi
al-Qur’an yang paling monumental adalah kemenangan Romawi atas Persia. Padahal,
secara kalkulatif, dalam kondisi Romawi yang sangat hancur karena kekalahan
oleh Persia, seolah mustahil hanya dalam beberapa tahun saja Romawi dapat
mengalahkan Persia. Namun, prediksi al-Qur’an tersebut menjadi kenyataan.[2]
الم (1) غُلِبَتِ
الرُّومُ
(٢)فِي
أَدْنَى
الأرْضِ وَهُمْ
مِنْ بَعْدِ
غَلَبِهِمْ
سَيَغْلِبُونَ
(٣)فِي بِضْعِ
سِنِينَ
لِلَّهِ
الأمْرُ مِنْ
قَبْلُ
وَمِنْ
بَعْدُ
وَيَوْمَئِذٍ
يَفْرَحُ
الْمُؤْمِنُونَ
(٤) بِنَصْرِ
اللَّهِ
يَنْصُرُ
مَنْ يَشَاءُ
وَهُوَ
الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
(5) وَعْدَ
اللهِ
لاَيُخْلِفُ
اللهُ
وَعْدَهُ وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ
النَّاسِ
لاَيَعْلَمُونَ
(6)
“Alif
Lâm Mîm. Telah dikalahkan bangsa Rumawi. Di negeri yang terendah[3] (terdekat)
dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun (lagi).
Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari
(kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman. Karena
pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (Sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari
Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (al-Rum: 1-6).
Al-Qur’an menyatakan bahwa Romawi akan menang setelah
mengalami kekakalahan tersebut dalam “bidl’i sinîn”. Dalam bahasa Arab,
kata bidl’i digunakan untuk menunjuk bilangan antara 3-9. Artinya, hanya
beberapa tahun saja yang dimiliki oleh Romawi untuk mengalahkan Persia.
Sedangkan dalam kondisi yang porak-poranda, perkiraan itu mengundang cemoohan
orang-orang kafir.
Prediksi al-Qur’an tersebut terbukti
benar. Peperangan antara Persia dengan Romawi yang di daerah antara Adhra’at
dan Basra, dekat Laut Mati berlangsung pada tahun 619M dan berakhir dengan
kemenangan Persia. Namun, ketika terjadi peperangan lagi pada tahun 627M,
Bizantium berhasil memaksa Persia untuk menandatangani perjanjian yang berisi
tentang pengembalian daerah-daerah yang sebelumnya diduduki oleh Persia.
Sebelum delapan tahun, prediksi al-Qur’an tersebut telah terbukti.
Temuan-temuan
Modern
Dalam konteks penemuan-penemuan modern, banyak fakta
mencengangkan yang telah diisyaratkan atau sesungguhnya bahkan diinformasikan
dengan jelas oleh al-Qur’an. Di antara penemuan modern yang mencengangkan itu
adalah:
Pertama, mengenai lokasi terjadinya pertempuran antara Romawi
dan Persia, fakta kemudian menunjukkan bahwa lokasi tersebut adalah lokasi
terendah di permukaan bumi karena lokasi tersebut berada pada -300 m di bawah
permukaan air laut. Padahal pada saat al-Qur’an diturunkan, belum ada teknologi
yang bisa melakukan pengukuran secara akurat mengenai posisi tersebut.
Kedua, temuan mengenai adanya serangga berukuran mikroskopik
di atas setiap nyamuk. Informasi ini sesungguhnya sudah cukup jelas terdapat
dalam al-Baqarah: 26.
إِنَّ
اللَّهَ لَا
يَسْتَحْيِي
أَنْ يَضْرِبَ
مَثَلًا مَا
بَعُوضَةً
فَمَا
فَوْقَهَا
Artinya:
"Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau
yang lebih kecil dari itu.”
Frase famâ fawqahâ dalam terjemahan-terjemahan
konvensional diartikan “atau yang lebih kecil dari itu”. Padahal
kata “fawqa” berarti “di atas”. Jadi, arti literalnya adalah “atau
apa yang ada di atasnya”. Terjemahan konvensional tersebut secara logis
bisa diterima, karena apa yang ada di atas nyamuk tentu saja adalah benda yang
tidak lebih besar daripada nyamuk itu sendiri. Namun, sesungguhnya pemaknaan
frase tersebut kurang lengkap. Dan yang melengkapi makna frase tersebut adalah
penemuan kontemporer bahwa terdapat serangga yang berukuran mikroskopik yang
ada di atas setiap nyamuk.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat diambil
kesimpulan yang sangat jelas bahwa al-Qur’an bukanlah sekedar buku yang ditulis
oleh manusia. Ia adalah wahyu dari Allah Yang Maha Tahu, sehingga memiliki
keunikan yang tak mungkin dijangkau oleh manusia di samping juga mampu
memberikan informasi-informasi yang sangat akurat mengenai kejadian-kejadian di
masa lalu maupun di masa yang akan datang, termasuk juga kehidupan lain setelah
kehidupan di dunia ini. Karena itu, ajaran-ajarannya sudah seharusnya dijadikan
sebagai panduan dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Nama-nama penyair Arab Pagan: Imru’ul Qays, Labid,
Syair Muh
|
Basis
|
Tujuan
|
Pengendali
|
|
Pra Islam
|
Alam
Realitas sosial
Emosi-khayalan
|
Estetika
Politik suku
Hiburan
|
Bebas
Kepala suku
Moral
|
|
Makkah
|
Moral Masyarakat
|
Didaktik
|
Etika Dakwah
|
|
Madinah
|
Dakwah
|
Ibadah
|
Politik Dakwah
|
|
Pasca Fathu Makkah
|
Nafas Islam
|
Transenden
|
Hukum Tuhan
|
|
Penyair Muhammad
|
Penentang Muhammad
|
Penyair Non Blok
|
Hasan Ibn Tsabit, Ka’ab Ibn Zuhayr, Abdullah Ibn Rawahah
|
Al-A’sya, Musailamah al-Kadzdzab, Umayyah Ibn Abi Shal,
al-Afwah al-Audi, Abu Sufyan al-Harits, Abdullah Ibn Al-Ziba’ra’
|
Labid Ibn Rabi’a
|
Ar-Ra’du ayat 2: Allahlah yang meninggikan
langit tanpa tiang. (kepercayaan Masyarakat arab bahwa bentuk bumi datar dan
gunung sebagai tiang langit).
Seorang
Oceanografer dan ahli selam terkemuka berkebangsaan Prancis, Jaques Yves
Cousteau menemukan pertemuan dua laut ini (Mediteranian dan
Laut Atlantik.)
yang
kedua tidak saling menyatu tetapi tetap seperti keadaannya masing-masing. Air
laut atlantik berwarna agak putih dan air laut Mediterania berwarna Biru pekat.
Menurut dia seolah-olah laut ini antara satu dengan yang lain ada dinding yang
memisahkannya sehingga tetap tidak mau bersatu padu.
Seorang
muslim menjelaskan kepada Cousteau bahwa itu adalah Fakta Kebenaran AL-Quran.
Hal itu sudah jauh-jauh hari dijelaskan dalam al-Quran, tepatnya pada surah
ar-Rahman dan surat al_Furqan, yaitu ketika seorangpun belum ada yang tahu
melihatnya.
“Dia
membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya
ada batas yang tidak dilampui masing-masing.” (QS Ar-Rahman: 19-20).
“Dan
Dialah (Allah) yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan), yang satu
tawar dan segar dan yang lainnya asin. Dia jadikan antara keduanya dinding dan
batas yang tidak tembus,” (QS Al Furqan: 53).
Prof. Dr. Maurice Bucaille asal
Prancis, peneliti tentang mayat firaun (ditemukan pada tahun 1898) yang masih
utuh karena pada mayat firaun mengandung garam.
"Maka
pada hari ini Kami selamatkan badan kamu supaya kamu dapat menjadi pelajaran
bagi orang-orang yang datang sesudah kamu dan sesungguhnya kebanyakan manusia
lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami." (Q.S Yunus : 92)
[2] Prediksi al-Qur’an
ini sesungguhnya juga merupakan informasi penghibur kepada kaum beriman yang
bersedih hati karena bangsa Romawi yang monoteis kalah oleh para penyembah
berhala.
[3] Fakta bahwa
daerah dekat Laut Mati tersebut adalah dataran bumi terendah, yakni berada
pada 395 meter di bawah permukaan air laut, terpotret oleh satelit di kemudian
hari.
No comments:
Post a Comment