BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIMBISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)

adsene camd

Tuesday 15 March 2016

Mengimani Al-Quran secara Rasional

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ




Beriman Kepada al-Qur’an Secara Rasional
Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ;
Pendiri Rumah Perkaderan Monash Institute http://monash-institute.co.nr.
Pendahuluan
Al-Qur’an menegaskan dirinya sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan. Bukan karangan Muhammad secara pribadi. Bukan pula hasil persekutuan antara dirinya dengan pihak-pihak lain, tepatnya jin, yang saat itu diyakini bisa memberikan bantuan kepada manusia dengan cara merasuk ke dalamnya. Penegasan ini bahkan disampaikan di bagian awal beberapa surat yang bisa dipahami agar sangat diperhatikan. 
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ - إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ ... (الزمر: 1-2)
Artinya: “Kitab (al-Qur'an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa) kebenaran. ... ” (al-Zumar: 1-2).
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (غافر: 2)
Artinya: “Kitab (al-Qur'an ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Ghafir: 2).
تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (فصلت: 2)
Artinya: “(Kitab al-Qur'an ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 2).
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ  (الجاثية: 2)
Artinya: “Kitab (al-Qur'an ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Jatsiyah:2, al-Ahqaf: 2).
Penjelasan tentang diri sendiri inilah yang kemudian sering menimbulkan permasalahan. Sebab, tidak mungkin sebuah buku atau kitab yang berisi ajakan dan ajaran justru menyatakan bahwa ia mengandung keraguan dan bahkan kekeliruan atau kesalahan. Pasti ia akan selalu menyatakan bahwa ia adalah kebenaran yang layak dan sudah seharusnya dipercaya dan diikuti tanpa keraguan[1] oleh setiap yang membacanya, layaknya sebuah iklan yang tidak mungkin menjelekkan produk yang dipromosikannya sendiri.
Bagi mereka yang belum meyakininya, tentu penegasan al-Qur’an itu bisa dipandang sebagai klaim sepihak. Bahkan, bagi orang yang mayakininya sekalipun, tidak menutup kemungkinan masalah bisa muncul. Sebab, secara faktual, sebagian besar mereka tidak mampu menjelaskan tentang alasan beriman kepada al-Qur’an, karena tidak memiliki bukti yang nyata. Beriman yang tidak didasarkan kepada bukti yang nyata berarti hanyalah dugaan belaka. Dan dugaan bersifat sangat subjektif. Orang yang beriman secara subjektif tentu akan sulit untuk mengajak atau membuat orang lain juga memiliki keimanan yang sama. Sebab, argumennya tidak akan sulit dipahami atau diterima oleh orang lain. Karena itu, penegasan tentang kebenaran al-Qur’an memerlukan uji kebenaran.
Pengakuan kepada kebenaran al-Qur’an sebagai firman Tuhan adalah sebuah sikap yang sangat penting. Sebab, pengakuan tersebut adalah satu langkah untuk menerimanya sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia (hudan li al-nâs). Sebagai panduan, al-Qur’an harus diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Yang menjadi masalah, di dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali pernyataan tentang hal-hal yang seolah-seolah bertentangan dengan panca indera dan bahkan akal sehat. Namun, sejatinya itu merupakan salah satu bukti nyata bahwa panca indera dan akal manusia sangatlah terbatas. Dan justru karena itulah, wahyu sangat diperlukan untuk memandu ilmu pengetahuan yang diupayakan oleh manusia. Wahyu menjadi pemicu, pemacu, dan sekaligus pengarah ilmu agar sampai kepada limit mendekati hakikat kebenaran.
Kebenaran al-Qur’an sebagai kalam Tuhan bisa dilihat pada berbagai fakta yang tersaji dalam al-Qur’an sendiri. Setidaknya, ada empat hal yang menjadi bukti nyata tentang kebenaran al-Qur’an sebagai firman Tuhan, yaitu: (1) aspek ketinggian bahasa sastra yang tidak tertandingi, (2) Nabi Muhammad adalah seorang ummi ketika menerima wahyu, (3) ketepatan prediksi-prediksinya, dan (4) temuan-temuan modern. Semua itu merupakan hal-hal yang dengan mudah terverifikasi oleh panca indra dan akal dengan usaha-usaha optimal. Karena itu, logika sederhana yang bisa digunakan dalam konteks ini adalah apabila pernyataan al-Qur’an mengenai hal-hal yang bisa diverifikasi terbukti benar, maka pernyataannya mengenai hal-hal yang tidak terverifikasi, seperti malaikat, alam kubur, qiyamat, akhirat, surga, dan neraka, juga harus dianggap sebagai kebenaran. Semua itu harus ditempatkan sebagai hal-hal yang ghaib yang membutuhkan keimanan. Dan keimanan kepadanya dengan menggunakan logika tersebut bukan sekedar dugaan, melainkan karena dasar yang sangat rasional.
Aspek Ketinggian   Bahasa
Setiap rasul diutus dengan bahasa kaumnya. Bahasa dalam konteks ini bisa dipahami dengan pengertian yang luas, termasuk juga tingkat pemikiran dan cara berpikir mereka. Di antara para rasul tersebut diutus dalam konteks masyarakat yang membangga-banggakan sesuatu tertentu yang ada pada mereka. Misalnya, Nabi Musa diutus kepada masyarakat yang memuja-muja sihir. Maka oleh Tuhan, Nabi Musa diberi mu’jizat yang melebihi kemampuan tukang-tukang sihir Fir’aun. Tukang-tukang sihir Fir’aun mampu “mengubah” tali-tali yang ada di hadapan mereka menjadi ular. Nabi Musa lebih dari itu, memiliki tongkat yang setelah dilemparkan bisa berubah menjadi ular yang lebih besar dan memakan semua ular hasil rekaan tukang-tukang sihir Fir’aun. Sedangkan Nabi Isa datang kepada masyarakat yang mempunyai kemampuan tinggi dalam masalah ketabiban. Profesi sebagai seorang tabib adalah profesi yang sangat prestisius dalam masyarakat kala itu. Karena itu, Allah memberikan kepadanya mu’jizat berupa kemampuan untuk menyembuhkan orang buta bawaan, lepra, dan bahkan suatu kali menghidupkan kembali orang yang sudah mati.
Nabi Muhammad datang dalam konteks masyarakat yang memuja para penyair dan produk sya’ir mereka. Karena itu, Allah memberikan mu’jizat kepadanya berupa kitab suci, al-Qur’an, yang bernilai sastra sangat tinggi yang jauh melampaui ketinggian hasil karya sastra para pujangga Arab Pagan.
Ibnu al-Mandhur dalam magnum opusnya, Lisân al-‘Arab, memberikan banyak penjelasan tentang konteks yang berkaitan dengan kata-kata syi’r. Sebagaimana Ibnu al-Mandhur, Toshihiko Izutsu, seorang pakar linguistik dari Jepang, dalam kajian semantiknya juga menjelaskan kondisi sosio-historis masyarakat Arab waktu itu. Di dalam masyarakat Arab Pagan, penyair mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, karena dianggap sebagai kekayaan dan sekaligus kekuatan suku. Penyair juga dianggap mempunyai kemampuan-kemampuan lebih yang oleh karena itu dijadikan sebagai pemimpin suku pada masa damai dan masa perang. Ucapan-ucapannya dipercayai mempunyai kekuatan melebihi serdadu dengan senjata dan tombak, karena mempunyai kekuatan magis yang dapat mengalahkan musuh. Bahkan lebih dari itu, ketika seorang penyair dari suku tertentu diserang dengan menggunakan sya’ir oleh penyair dari suku yang lain, maka ia harus membalasnya. Sebab, kalau itu tidak dilakukan, tidak hanya dia yang dianggap kalah, akan tetapi sukunya pun ikut merasa dan dianggap kalah dan terhinakan.
Mereka berkepercayaan bahwa para penyair dan juga tukang tenung adalah tipe orang-orang yang setiap saat dapat dimasuki kekuatan supranatural yang tak terlihat yang memberikan inspirasi kepada mereka. Kekuatan supranatural ini biasa disebut dengan jin. Jadi, sya'ir yang dibuat oleh para penyair pada waktu itu dipandang sebagai hasil karya kolaboratif antara sang penyair dengan kekuatan supranatural itu, yang oleh masyarakat Arab kala itu diyakini bahwa kekuatan supranatural itu melayang-layang di udara. Demikian juga kata-kata yang keluar dari tukang tenung yang dipercaya sebagai orang yang bisa meramal, adalah juga kata-kata yang berasal dari jin yang memberikan informasi kepadanya tentang kejadian masa depan atau hal-hal yang tidak diketahui oleh masyarakat umum.
Dalam pandangan mereka juga, jin tidak merasuk kepada sembarang orang, tetapi memilih orang-orang tertentu yang disukainya. Apabila orang yang disukai itu ditemukan, jin merasuk ke dalam diri orang tersebut dan menjadikannya sebagai penyambung lidahnya. Orang seperti inilah yang dimaksud dengan "penyair" dalam pengertian semantik yang paling awal, yakni orang yang mempunyai pengetahuan supranatural, karena mendapatkan informasi dari jin.
Dalam pandangan masyarakat Arab Pagan, setiap penyair mempunyai jin sendiri-sendiri dan dianggap sebagai teman akrab. Sebab itu, ketika seorang penyair tidak mampu mengucapkan sya'ir balasan ketika mendapat serangan dari penyair lain, maka ia akan mengatakan bahwa yang menyebabkannya tidak mampu bukanlah kebodohannya, akan tetapi karena "teman akrab"nya tidak mengucapkan kata-kata kepadanya.
Dalam konteks masyarakat seperti inilah, Nabi Muhammad diutus untuk menyampaikan ajaran Tuhan. Karena itu, orang-orang yang tidak mempercayai kerasulannya, menganggap Nabi Muhammad tak ubahnya penyair-penyair Arab Pagan lainnya. Ketika Nabi Muhammad mewartakan kebenaran kepada mereka yang kebenaran itu berbeda dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya yang diberikan oleh para pujangga Arab Pagan, maka mereka mencela dan mengejek Nabi Muhammad, juga menentangnya dengan tentangan yang keras.
Sikap ingkar mereka kepada kerasulan Nabi Muhammad dengan mu’jizat al-Qur’an dideskripsikan oleh al-Qur’an dalam banyak ayat.
أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ
Artinya: "Atau mereka berkata: “Dia adalah penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaannya" (al-Thûr: 30).
وَقَالُوا يَا أَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ
Artinya: "Wahai orang yang diturunkan Alquran kepadanya, sesungguhnya kamu adalah orang yang majnûn." (al-Hijr: 6),
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
Artinya: "Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair majnûn ini?" (al-Shâffât: 36).
Al-Qur’an berusaha meyakinkan bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang penyair yang dirasuki jin,.
مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ
Artinya: Berkat rahmat Tuhanmu, engkau (Muhammad) sekali-kali bukanlah orang yang majnûn (dirasuki jin). (Nûn: 3).
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ
Artinya: Maka ingatlah, berkat rahmat Tuhanmu, engkau (Muhammad) sekali-kali bukanlah tukang tenung, bukan pula orang yang majnûn (dirasuki jin). (Al-Thur: 29)
Apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad tersebut sesungguhnya bukan berasal dari jin, melainkan berasal dari Allah, Tuhan segala alam.
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (40) وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ (41) وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ (42) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (43) وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ (44) لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46) فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ
Artinya: "Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan al-Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan seorang tukang tenung. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu." (al-Hâqqah: 40-47).
Dalam konteks ini, terdapat kekeliruan dalam mengartikan majnun dalam al-Qur’an terjemahan kita. Kata tersebut diartikan dengan gila. Terjemahan tersebut keliru karena kurang tepat dalam menangkap latar belakang budaya sastra masyarakat Arab jahiliyah. Masyarakat Arab jahiliyah memiliki kepercayaan bahwa para pujangga (syâ’ir, syu’ara’) adalah orang yang memiliki kemampuan mengeluarkan kalimah-kalimat keindahan sastra tinggi atau sangat puitis. Kata sya'ir sendiri menurut Ibn al-Mandhur berasal dari kata sya'ara atau sya'ura, artinya adalah memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang tidak diketahui oleh orang kebanyakan. Dan dalam pandangan masyarakat Arab jahiliyah, mereka memiliki kemampuan itu karena mendapatkan bantuan jin yang merasuk dalam diri mereka. Karena itu, Nabi Muhammad sebagai penyampai al-Qur’an yang memiliki keindahan bahasa tinggi itu disamakan dengan para pujangga Arab yang majnun (kerasukan jin) itu.
Dari uraian di atas, persoalannya menjadi jelas bahwa sesungguhnya yang ingin ditegaskan oleh al-Qur’an adalah bahwa Nabi Muhammad dan al-Qur’an tidaklah sama dengan pujangga-pujangga Arab dan produk-produk sya’ir mereka. Dan dengan demikian, ketinggian aspek kebahasaan al-Qur’an harus diakui sebagai sebuah kenyataan yang itu hanya bias terjadi, karena Allah Swt.. Dan yang lebih penting lagi, al-Qur’an berisi tentang ajaran-ajaran kebenaran yang Nabi Muhammad menjadi contoh terbaik dalam menjalankannya. Ada beban moral atas Nabi Muhammad untuk tidak sekedar mengatakan atau menyampaikan al-Qur’an dengan bahasa yang indah itu. Berbeda dengan para pujangga Arab yang hanya sekedar menyampaikan kata-kata indah, tetapi mereka tidak menjadi pelakunya. Kritik ini disampaikan oleh al-Qur’an:
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ (٢٢٤) أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ (٢٢٥) وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُونَ (٢٢٦)
Artinya:Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya). (al-Syu'araa: 224-226)
Karena berbagai upaya untuk meyakinkan masyarakat Arab Pagan bahwa al-Qur’an benar-benar wahyu dari Allah dan bukanlah karya sastra yang merupakan perkataan seseorang yang dirasuki jin, maka al-Qur’an menyatakan:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا (الاسراء: 88)
Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (al-Isra: 88)
Pernyataan al-Qur’an tersebut sesungguhnya merupakan tantangan kepada mereka yang menuduh bahwa Nabi Muhammad adalah penyair sebagaimana para pujangga Arab saat itu dan ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikannya tidak lain merupakan karya sastra yang dihasilkannya. Dan karena mereka tidak memberikan kesanggupan untuk memberikan tandingan kepada al-Qur’an secara keseluruhan yang pada akhirnya terdiri atas 114 surat, maka tantangan al-Qur’an kemudian diturunkan menjadi hanya untuk membuat 10 surat saja.
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya:Justru mereka berkata, “Dia (Muhammad)lah yang telah mengarang Al-Qur’an. Katakan ‘datangkanlah sepuluh surat semisalnya yang dikarang! Dan ajaklah selain Allah yang kalian mampu mengajak! Jika kalian telah benar pernyataannya!’.” Jika mereka mutlak tidak bisa mengabulkan tantangan ini pada kalian, maka ketahuilah bahwa sungguh al-Qur’an diturunkan dengan memuat ilmu Allah. Tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Bukankah kalian mau masuk Islam?.” (Hud: 13-14).
Bahwa al-Qur’an tak akan tertandingi, al-Qur’an menegaskan dengan menyatakan bahwa walaupun para penentang al-Qur’an mengumpulkan semua pihak yang dianggap mampu, maka tak akan mampu mendatangkan yang semisalnya.

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة: 23)

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS. al-Baqarah: 23)
Tantangan demi tantangan al-Qur’an itu mendapat jawaban dari beberapa tokoh yang sebelumnya dianggap sebagai pujangga, di antaranya adalah Musailamah Bin Habib yang kemudian mengaku sebagai nabi yang juga mendapatkan wahyu dari Allah. Ia membuat gubahan-gubahan yang dimaksudkan untuk menandingi al-Qur’an. Untuk menandingi surat al-Fîl, dia membuat gubahan berikut ini:
الفيل- ما الفيل- وما أدراك ما الفيل- له ذنب وَبِيل -  وخرطوم طويل
Gajah. Apa itu gajah? Tahukah engkau apa itu gajah? Ia mempunyai ekor yang buruk; dan belalai yang panjang.
Musailamah juga membuat gubahan dengan maksud menandingi surat al-Ashr: 1-3. Ibnu Katsiir menyebutkan dalam tafsirnya:
ذكروا أن عمرو بن العاص وفد على مسيلمة الكذاب [لعنه الله] وذلك بعد ما بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم وقبل أن يسلم عمرو، فقال له مسيلمة: ماذا أنزل على صاحبكم في هذه المدة؟ قال لقد أنزل عليه سورة وجيزة بليغة. فقال: وما هي؟ فقال: " وَالْعَصْرِ إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ " ففكر مسيلمة هُنَيهة ثم قال: وقد أنزل علي مثلها. فقال له عمرو: وما هو؟ فقال: يا وَبْر يا وَبْر، إنما أنت أذنان وصَدْر، وسائرك حفز نَقْز. ثم قال: كيف ترى يا عمرو؟ فقال له عمرو: والله إنك لتعلم أني أعلم أنك تكذب
Artinya: Mereka menyebutkan bahwasannya ’Amr bin al-’Ash ra. pernah diutus menemui Musailamah Al-Kadzdzab. Hal itu berlangsung setelah pengutusan (bi’tsah) Rasulullah saw. dan sebelum dia (’Amru bin Al-’Aash) masuk Islam. Musailamah Al-Kadzdzab bertanya kepada ’Amru bin Al-’Aash: ’Apa yang telah diturunkan kepada shahabatmu (yaitu Rasulullah saw.) selama ini ?’. Dia menjawab : ’Telah diturunkan kepadanya satu surat ringkas namun sangat padat’. Dia bertanya: ’Surat apa itu ?’. Dia (’Amr) menjawab: ”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (al-’Ashr : 1-3). Kemudian Musailamah berpikir sejenak. Setelah itu ia berkata: ’Dan telah diturunkan pula hal yang serupa kepadaku’. Kemudian ’Amr bertanya kepadanya: ’Apa itu ?’. Musailamah berkata : ’Hai kelinci, hai kelinci; Sesungguhnya kamu memiliki dua telinga dan satu dada; Dan semua jenismu suka membuat galian dan lubang’. Kemudian Musailamah bertanya: ’Bagaimana menurut pendapatmu wahai ’Amru ?’. ’Amru berkata kepadanya: ’Demi Allah, sesungguhnya aku tahu bahwa engkau telah berdusta’ (Tafsiir Ibn Katsîr, Jilid VIII hal. 479).
Gubahan lain yang dibuatnya adalah:
يَا ضَفْدَع بِنْتَ ضَفْدَعَيْنَ نَقَى مَاتَنْقَيْنَ أَعْلاَكَ فِيْ المَاءِ وَأَسْفَلُكَ فِيْ الطِّيْنِ
Wahai kodok anak dua kodok, berkuaklah sesukamu. Atasmu di air dan bawahmu di tanah”.
Bersamaan dengan keindahan bahasanya, al-Qur’an menyampaikan berbagai ajaran substansial yang sangat menggugah dan menggetarkan.
Kesalahan pandangan bahwa al-Qur’an bernilai sastra tinggi tersebut terjadi karena kesalahan dalam memahami dua kata kunci, yakni majnûn dan syi’r (dan kata-kata turunan-turunannya) yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an. Kesalahan pengertian ini di antaranya terjadi dalam al-Qur’an terjemahan Departemen Agara RI yang menerjemahkan majnûn ke dalam bahasa Indonesia dengan “gila”. Kemudian, para mufassir (penafsir al-Qur’an) terutama yang menggunakan metode ijmali (global) tidak memberikan pengertian yang cukup tentang makna syi’r dan majnûn dengan menguraikan latar belakang sosio-historis masyarakat Arab pagam kaitannya dengan kegilaan mereka terhadap karya sastra.
Nabi Muhammad Seorang Ummi
Sebelum menjadi rasul, Muhammad dikenal oleh masyarakat Arab sebagai al-amin, yakni orang yang bisa dipercaya, karena sepanjang hidupnya tidak pernah berdusta. Apa saja informasi yang bersumber darinya adalah kebenaran. Namun, keberadaan al-Qur’an kemudian menyebabkan sebagian besar masyarakat Arab yang sebelumnya mempercayainya kemudian mendustakannya. Salah satu pendustaan yang dilakukan oleh para penentang Nabi Muhammad adalah mendelegitimasi al-Qur’an sebagai kalam Tuhan. Mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad telah menyalin informasi-informasi yang ada sebelumnya yang kemudian dikompilasinya menjadi al-Qur’an.   
وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَىٰ عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا (الفرقان: 5)
Dan mereka berkata: "Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang. (al-Furqân: 5)
Tuduhan para penentang kerasulan Muhammad ini disangggah oleh al-Qur’an bahwa Muhammad tidak pernah membaca maupun menulis isi kitab-kitab yang ada sebelumnya. Sanggahan al-Qur’an ini menolak pandangan para penentangnya yang sebagiannya adalah pengikut Yahudi dan Kristen bahwa Nabi Muhammad hanya menyadur informasi-informasi yang ada dalam Kitab Taurat dan Injil.     
وَمَا كُنتَ تَتۡلُواْ مِن قَبۡلِهِۦ مِن كِتَـٰبٍ۬ وَلَا تَخُطُّهُ ۥ بِيَمِينِكَ‌ۖ إِذً۬ا لَّٱرۡتَابَ ٱلۡمُبۡطِلُونَ (العنكبوت: ٤٨)
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) satu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulisnya dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (al-Ankabût: 48).
Al-Qur’an memperkuat penolakan tersebut dengan menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang ummi, yakni orang yang tidak bisa menulis dan membaca.
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (الأعراف: 157)
”(Yaitu) orang-orang yang mengikuti seorang Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-A’râf: 157).
Kebenaran Prediksi dalam al-Qur’an
Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang kejadian-kejadian masa lalu yang bisa dijadikan sebagai i’tibar (‘ibrah), tetapi juga berbicara mengenai masa depan, bahkan kehidupan setelah dunia (akhirat). Prediksi mengenai masa depan merupakan sebuah tindakan berisiko, karena jika prediksi tersebut salah, maka pemberi informasi akan mengalami delegitimasi. Namun, al-Qur’an melakukannya dan ternyata prediksi tersebut benar. Al-Qur’an juga memberikan informasi mengenai berbagai hal yang kebenaran faktualnya belum bisa disaksikan dan kemudian bisa disaksikan.
Prediksi al-Qur’an yang paling monumental adalah kemenangan Romawi atas Persia. Padahal, secara kalkulatif, dalam kondisi Romawi yang sangat hancur karena kekalahan oleh Persia, seolah mustahil hanya dalam beberapa tahun saja Romawi dapat mengalahkan Persia. Namun, prediksi al-Qur’an tersebut menjadi kenyataan.[2]  
الم (1) غُلِبَتِ الرُّومُ (٢)فِي أَدْنَى الأرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ (٣)فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الأمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (٤) بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (5) وَعْدَ اللهِ لاَيُخْلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ (6)
Alif Lâm Mîm. Telah dikalahkan bangsa Rumawi. Di negeri yang terendah[3] (terdekat) dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman. Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (Sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (al-Rum: 1-6).
Al-Qur’an menyatakan bahwa Romawi akan menang setelah mengalami kekakalahan tersebut dalam “bidl’i sinîn”. Dalam bahasa Arab, kata bidl’i digunakan untuk menunjuk bilangan antara 3-9. Artinya, hanya beberapa tahun saja yang dimiliki oleh Romawi untuk mengalahkan Persia. Sedangkan dalam kondisi yang porak-poranda, perkiraan itu mengundang cemoohan orang-orang kafir.
Prediksi al-Qur’an tersebut terbukti benar. Peperangan antara Persia dengan Romawi yang di daerah antara Adhra’at dan Basra, dekat Laut Mati berlangsung pada tahun 619M dan berakhir dengan kemenangan Persia. Namun, ketika terjadi peperangan lagi pada tahun 627M, Bizantium berhasil memaksa Persia untuk menandatangani perjanjian yang berisi tentang pengembalian daerah-daerah yang sebelumnya diduduki oleh Persia. Sebelum delapan tahun, prediksi al-Qur’an tersebut telah terbukti.  
Temuan-temuan Modern
Dalam konteks penemuan-penemuan modern, banyak fakta mencengangkan yang telah diisyaratkan atau sesungguhnya bahkan diinformasikan dengan jelas oleh al-Qur’an. Di antara penemuan modern yang mencengangkan itu adalah:
Pertama, mengenai lokasi terjadinya pertempuran antara Romawi dan Persia, fakta kemudian menunjukkan bahwa lokasi tersebut adalah lokasi terendah di permukaan bumi karena lokasi tersebut berada pada -300 m di bawah permukaan air laut. Padahal pada saat al-Qur’an diturunkan, belum ada teknologi yang bisa melakukan pengukuran secara akurat mengenai posisi tersebut.
Kedua, temuan mengenai adanya serangga berukuran mikroskopik di atas setiap nyamuk. Informasi ini sesungguhnya sudah cukup jelas terdapat dalam al-Baqarah: 26.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا
Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu.
Frase famâ fawqahâ dalam terjemahan-terjemahan konvensional diartikan “atau yang lebih kecil dari itu”. Padahal kata “fawqa” berarti “di atas”. Jadi, arti literalnya adalah “atau apa yang ada di atasnya”. Terjemahan konvensional tersebut secara logis bisa diterima, karena apa yang ada di atas nyamuk tentu saja adalah benda yang tidak lebih besar daripada nyamuk itu sendiri. Namun, sesungguhnya pemaknaan frase tersebut kurang lengkap. Dan yang melengkapi makna frase tersebut adalah penemuan kontemporer bahwa terdapat serangga yang berukuran mikroskopik yang ada di atas setiap nyamuk.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan yang sangat jelas bahwa al-Qur’an bukanlah sekedar buku yang ditulis oleh manusia. Ia adalah wahyu dari Allah Yang Maha Tahu, sehingga memiliki keunikan yang tak mungkin dijangkau oleh manusia di samping juga mampu memberikan informasi-informasi yang sangat akurat mengenai kejadian-kejadian di masa lalu maupun di masa yang akan datang, termasuk juga kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini. Karena itu, ajaran-ajarannya sudah seharusnya dijadikan sebagai panduan dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Nama-nama penyair Arab Pagan: Imru’ul Qays, Labid,
Syair Muh
Basis
Tujuan
Pengendali
Pra Islam
Alam
Realitas sosial
Emosi-khayalan
Estetika
Politik suku
Hiburan
Bebas
Kepala suku
Moral
Makkah
Moral Masyarakat
Didaktik
Etika Dakwah
Madinah
Dakwah
Ibadah
Politik Dakwah
Pasca Fathu Makkah
Nafas Islam
Transenden
Hukum Tuhan
Penyair Muhammad
Penentang Muhammad
Penyair Non Blok
Hasan Ibn Tsabit, Ka’ab Ibn Zuhayr, Abdullah Ibn Rawahah
Al-A’sya, Musailamah al-Kadzdzab, Umayyah Ibn Abi Shal, al-Afwah al-Audi, Abu Sufyan al-Harits, Abdullah Ibn Al-Ziba’ra’
Labid Ibn Rabi’a
Ar-Ra’du ayat 2: Allahlah yang meninggikan langit tanpa tiang. (kepercayaan Masyarakat arab bahwa bentuk bumi datar dan gunung sebagai tiang langit).
Seorang Oceanografer dan ahli selam terkemuka berkebangsaan Prancis, Jaques Yves Cousteau menemukan pertemuan dua laut ini  (Mediteranian dan Laut Atlantik.) yang kedua tidak saling menyatu tetapi tetap seperti keadaannya masing-masing. Air laut atlantik berwarna agak putih dan air laut Mediterania berwarna Biru pekat. Menurut dia seolah-olah laut ini antara satu dengan yang lain ada dinding yang memisahkannya sehingga tetap tidak mau bersatu padu.
Seorang muslim menjelaskan kepada Cousteau bahwa itu adalah Fakta Kebenaran AL-Quran. Hal itu sudah jauh-jauh hari dijelaskan dalam al-Quran, tepatnya pada surah ar-Rahman dan surat al_Furqan, yaitu ketika seorangpun belum ada yang tahu melihatnya.
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampui masing-masing.” (QS Ar-Rahman: 19-20).
Dan Dialah (Allah) yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan), yang satu tawar dan segar dan yang lainnya asin. Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak tembus,” (QS Al Furqan: 53).
            Prof. Dr. Maurice Bucaille asal Prancis,  peneliti tentang mayat firaun (ditemukan pada tahun 1898) yang masih utuh karena pada mayat firaun mengandung garam.
"Maka pada hari ini Kami selamatkan badan kamu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudah kamu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami." (Q.S Yunus : 92)


[1] Al-Baqarah: 2
[2] Prediksi al-Qur’an ini sesungguhnya juga merupakan informasi penghibur kepada kaum beriman yang bersedih hati karena bangsa Romawi yang monoteis kalah oleh para penyembah berhala.
[3] Fakta bahwa daerah  dekat Laut Mati tersebut adalah dataran bumi terendah, yakni berada pada 395 meter di bawah permukaan air laut, terpotret oleh satelit di kemudian hari.

No comments:

Post a Comment

Baca Juga