BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIMBISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)

adsene camd

Friday 1 January 2016

Memanggil Kembali Peran Islam ke dalam Humanisme Modern

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Tidak bisa dipungkiri, di era modern ini teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat, khususnya teknologi dan informasi.Teknologi kini telah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan mayoritas manusia di dunia.Hal ini dilakukan sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan harkat martabat manusia.Perkembangan teknologi yang semakin canggih telah memberikan dampak yang signifikan bagi penggunanya. Perubahan gaya, fashion dan tingkah laku tidak terlepas dari pengaruh teknologi. Bukan itu saja, segala bentuk pekerjaan kini bisa dilakukan dengan lebih efektif dan efisien dengan dilapis teknologi.
Di sisi lain, disaat zaman modern(kemodernan) digadang-gadangkan sebagai karya manusia yang paling hebat, tetapi zaman modern juga menyimpan seribumasalah.Perkataan “modern” identik dengan penilaian yang cenderung positif (modern berarti maju dan baik). Padahal, dari sudut hakikatnya zaman modern itu sesungguhnya tidak demikian.Di balik semua kemajuan yang dibawanya telah mengakibatkan krisis-krisis yang berakibat kepada seluruh aspek kehidupan dunia dan isinya.Dalam artian, berdampak kepada rusaknya keseimbangan alam dan habitatnya.
Krisis ini bersifat globaldan mencakup wilayah yang sangat kompleks.Tidak lagi hanya terbatas pada wilayah tertentu, melainkan diseluruh dunia.Di alami oleh setiap kelompok manusia serta makhluk hidup dan mati lainnya.Menurut orang-orang yang punya mata “kritis” terhadap realitas, akar dari krisis ini bersemayam di dalam realitas kemodernan.Siapapun tidak bisa menyangkal bahwa realitas kehidupan modern kontemporer adalah realitas yang sangat problematik yang terus-menerus menggerogoti keutuhan eksistensi manusia dan habitatnya.
Telah terjadi begitu banyak kerusakan lingkungan (alam) yang juga merupakan habitat manusia itu sendiri.Kerusakan lingkungan ini terjadi disebabkan adanya sikap dominasi atau penguasaan manusia terhadap alam.Sikap dominasi ini berwujud pada berbagai bentuk eksploitasi terhadap alam.Semua eksploitasi ini jelas-jelas berkembang pesat di dalam zaman modern yang “bangga” dengan aktifitas industrinya.Krisis lingkungan menimbulkan banyak akibat yang sangat merugikan. Karena lingkungan alam sendiri merupakan habitat manusia , maka secara tidak langsung hidup dan diri manusia pun terkena imbas buruknya. 
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa krisis alam secara langsung juga menjadi salah satu sebab kemanusiaan masa kini. Manusia modern tidak sadar bahwa ia sesungguhnya adalah bagian dari alam (keseluruhan kosmos). Sebaliknya, ia menganggap dirinya sebagai entitas yang terpisah dari alam. Dengan bekal akal, yakni sebuah kemampuan (faculty) yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh makhluk lain di dunia ini. Dengan akal ini manusia memberi bukti bahwa ia mampu melakukan banyak hal yang hebat di dalam hidupnya. Bahkan bisa menemukan hukum-hukum alam dan kemudian bisa memanipulasinya.Oleh karena itu manusia menjadi “sombong” dan menganggap dirinya lebih dari alam, sehingga bisa memanfaatkannya semata-mata demi kepentingannya pribadi.
Bekerja demi kepentingan diri sendiri atau dengan kata lain penekanan pada individualitas yang absolut merupakan salah satu karakter utama paradigma modern. Rene Descartes, dengan konsep “cogito ergo sum”-nya, demikian pula Francis Bacon atau Isaac Newton telah menggulirkan berbagai konsep dasar bagi sains modern, yang pada akhirnya memperkuat kecenderungan individualistik modern.
Dengan teori cogito ergo sum, Descartes menjelaskan bahwa materi dan pikiran adalah dua hal yang berbeda. Tidak ada satupun di dunia ini yang punya eksistensi yang sejati kecuali pikiran.Dengan demikian dalam dikotomi antara pikiran dan materi tadi, yang sungguh eksis adalah pikiran. Dengan kata lain pikiran di atas materi. Konsep inilah yang kemudian menjadi perintis terjadinya dikotomi antara manusia dan alam, yang selanjutnya melegitimasi kekuasaan dan eksploitasi manusia atas alam.
Pemisahan antara pikiran dan materi ala Descartes ini, yangmenekankan pada superioritas ratio atas segala sesuatu menjadi dasar terhadap pemikiran modern lainnya.Beberapa karakteristik dasar kemodernan yang muncul dari konsep Descartes adalah seperti rasionalisme, individualisme, subjektivisme dan matearialisme.
Descartes adalah seorang filsuf sekaligus ahli matematika. Ia mencoba mengadopsi rasionalisme kedalam sains modern.Kerangka pemikiran rasionalis-materialis ini kemudian dikaitkan dengan matematika. Alhasil, dari proses itu ia mengungkapkan suatu kesimpulan yang sangat mendasar bagi perkembangan sains modern, yakni bahwa melalui matematika seorang bisa meraih suatu pemahaman yang sempurna tentang alam semesta.
Bagi Descartes, seluruh alam semesta ini adalah suatu mekanisme yang diatur oleh hukum matematis. Jadi, jika hukum-hukum matematika itu sudah bisa ditemukan, maka seluruh dunia material bisa diketahui dan dipahami.Konsep ini jelas selaras dengan konsepnya tentang individual (rescogiatains) sebagai entitas yang terpisah dari alam materi (reisextensa).
Sesuatu yang telah terjadi pada Descartes ini merupakan salah satu bukti revolusi ilmu pengetahuan alam yang terjadi pada masa Renaisans.Banyak ahli menduga, boleh jadi revolusi ilmu pengetahuan alam inilah yang sebetulnya menjadi perintis bagi pemikiran modern yang kita kenal sangat saintifik.
Secara historis, pemikiran materialis menjadi ideologi dasar kemodernan,kemudian berkembang memanifestasikan dirinya dalam berbagai tren intelektual modern, mulai dari rasionalisme (Descartes), empirisme (Inggris), kritisisme, idealisme, positivisme (comte), materialism, marxisme, pragmatisme, eksistensialisme, nihilisme, hingga struktualisme. Semua tren intelektual tersebut ikut berpartisipasi pada kemajuan sains modern yang begitu pesat dan canggih, sehingga akhirnya paradigma saintifiklah yang menjadi paradigma utama kemodernan.

Tuhan di Masa Modern
Di zaman modern, pengetahuan (ide) monoteisme yang menanamkan keyakinan kepada manusia tentang adanya kekuatan yang transendental itu secara gradual semakin terkikis. Karena yang kuat menanamkan ide yang transendental itu agama, maka agama akhirnya dianggap sudah tidak relevan lagi, dengan kata lain tidak cocok di anut di masa modern ini. Alasannya adalah karena manusia tidak lagi memiliki kesadaran bahwa hidupnya tidak hanya dilingkungi oleh sesuatu yang bisa dilihat dan dipahami saja, tetapi juga oleh sesuatu yang abstrak dan karenanya tidak bisa dipahami.Budaya saintis yang menjadi pra-syarat utama bagi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa mengajarkan manusia hanya untuk memperlihatkan dan mengetahui gejala-gejala fisikal dan material saja (metode positifistik).Satu dari konsekuensi kongkrit dari metode itu adalah hilangnya kesadaran akan nilai-nilai spiritual yang suci yang bersifat transendental.
Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Knowlage and the Sacred mengungkapkan bahwa salah satu persoalan dasariah kemodernan adalah terjadinya keterpisahan yang radikal antara pengetahuan dari yang Kudus. Menurut Nasr, pada permulaannya (jauh sebelum kemunculan realitas kemodernan), pengetahuan memiliki realitas yang dalam dengan realitas prinsipal dan primordial yakni yang Kudus.
Sejalan dengan perkembangan waktu dan terjadinya berbagai refraksi serta refleksi terhadap realitas berdasarkan banyak sekali cermin manifestasi baik yang mikroskopis maupun makroskopis, pengetahuan berangsur-angsur menjadi terpisah dari Being serta dari ekstasi, yang menjadi ciri persatuan antara pengetahuan dengan Being (yang Kudus).
Keterpisahan ini menjadi sedemikian radikal di dalam realitas kemodenan.Dalam kemodernan ini, pengetahuan hampir secara lengkap tereksternalisasi serta terdesakralisasi sehingga konsekuensinya kebahagiaan yang merupakan buah dari persatuannya dengan roh Kudus, menjadi sedemikian sulit diraih. Pada dasarnya, menurut Nasr, akar dan esensi dari pengetahuan tidak pernah akan terpisahkan dari yang Kudus karena substansi dari pengetahuan adalah pengetahuan tentang realitas suprim atau yang Kudus itu sendiri.
Intelegensi yang adalah instrumen pengetahuan yang terdapat dalam diri manusia dilengkapi dengan kemungkinan untuk mengetahui yang absolut.Layaknya sebuah sinar yang teremanasi dari dan kemudian kembali kepada yang absolut tersebut.Intelegensi itu merupakan bukti dari realitas absolut yang infinitif tersebut. Manusia zaman modern menurut Nasr, telah kehilangan perasaan kagum sebagai akibat dari hilangnya rasa akan yang Kudus.
Kemunculan gagasan seperti itu diakibatkan adanya ketidakmampuan sistem keimanan (kepercayaan) yang berlaku untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat modern dengan ilmu pengetahuannya.Kemajuan masyarakat yang sudah berhasil dan begitu percaya pada iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), akhirnya berkembang lepas dari kontrol agama.Iptek yang landasan pokoknya bersifat sekuler bagi mayoritas orang menggantikan posisi agama.Segala kebutuhan agama seolah bisa terpenuhi dengan dan melalui Iptek.Namun seiring berjalannya waktu iptek ternyata menghianati kepercayaan manusia.Kemajuan iptek justru identik dengan bencana. Kondisi inilah yang tampaknya membuat masyarakat mengalami apa yang disebut Nurcholish Madjid sebagai krisis epistemologis, yakni masyarakat tidak lagi mengetahui tentang makna tujuan hidup (meaningandpurpose of life).
Memanggil kembali peran Islam
Islam, in entering into the proletarian underword of our latter day Western civilization, may eventually compete with India and the Far East and Russia for the price of influencing the future in ways that may pass our understanding (Arnold Toynbee).
“in ways that may pass our understanding” suatu ungkapan yang menyimpan keraguan tentang diri sendiri (orang modern) yang diselipkan dalam pandangan tentang kemungkinannya kelompok manusia lain (Islam) untuk menemukan jalan hidup yang lebih unggul daripada yang ada pada orang (barat) modern sekarang ini. Ungkapan Arnold Toynbee merupakan harapan kepada bangsa muslim, untuk aktif berpartisipasi dalam usaha mengembangkan peradaban modern.
Banyak hal yang tersirat dari ungkapan Toynbee itu, namun yang paling penting adalah bahwa orang-orang modern (barat) sendiri banyak yang menyadari aspek-aspek kekurangan pada peradaban modern mereka.Setelah mereka telusuri, aspek kekurangan itu kebanyakan bersumber dari paham materialismenya yang sangat menonjol. Hal ini disebabkan karena banyak orang Barat yang beranggapan bahwa keunggulan mereka tentang ekonomi dan teknologi tak akan terkejut oleh siapapun dari bangsa-bangsa lain di dunia ini, namun mereka masih tetap melihat peluang supremasimereka itu ditantang untuk temuan akan suatu bentuk teknik dan organisasi yang lebih unggul, yang dapat melampaui produktifitas teknik dan organisasi mereka.
Oleh sebab itu, barangkali saja kegagalan atau kesulitan manusia menemukan makna hidup itu ialah karena mereka sejauh ini dan di tempat yang mereka kenal , disuguh dengan konsep-konsep ultimacy dalam bentuk paham ketuhanan yang mereka rasa tidak cocok dengan sendi-sendi modernitas itu sendiri. Dan jika modernitas adalah perkembangan alami manusia, maka ketidakcocokan bisa bermakna serius, Yaitu tidak cocok dengan alam manusia itu sendiri. Karena itu tuntunan-tuntunan kepada ketuhananpun sangat negatif.
Sebab yang mendasari setiap tuntunan kepada konsep ketuhanan yang bisa direpresentasi Tuhan adalah ketidaksabaran orang akan kenisbian diri dan kemampuannya, termasuk intelektual dan imajinatifnya. Dengan kata lain tuntunan untuk merepresentasi tuhan timbul karena orang memahami tuhan sebagai nisbi.
Berdasarkan itu, Islam (iman) tidak akan hilang oleh modernitas. Malah iman yang benar, yang bebas dan murni dari semua bentuk representasi, seperti dicerminkan dalam ikonoklastik- anti gambar representasi obyek-obyek suci seperti Tuhan, malaikat, nabi dan lainnya dalam agama Islam, akan lebih mendapat dukungan dari manusia modern. Sebab dengan iman yang murni ia akan tetap memiliki pegangan hidup, dan bersama dengan itu sekaligus membebaskan diri dari belenggu tahayyul dan supersitisi. 
Islam dan Humanisme                                                                                             
            Islam adalah agama samawi terbaik yang diturunkan Allah ke dunia fana ini.Karena Islam diturunkan melalui Nabi dan Rasul terakhir yaitu Muhammad s.a.w. yang berfungsi sebagai penyempurna dari ajaran tauhid dan syariah yang diajarkan pada para Nabi dan Rasul sebelumnya.Dari segi kuantitas pemeluknya Islam adalah agama kedua terbesar di dunia setelah Kristen.Secara umum Islam berarti damai (as-salam) dan penyerahan diri (istislam) pada Allah pencipta segala sesuatu dengan penyerahan diri yang sempurna dari manusia kepada Allah dalam segala urusan kehidupan. Dengan kata lain, Islam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kemaslahatan umat.
            Di tengah kondisi masyarakat modern, esensi tentang islam lambat laun mulai terkikis. Hal ini disebabkan karena dangkalnya pemahaman berkaitan dengan Islam itu sendiri. Alquran sebagai pedoman bagi muslim sering kali diterjemahkan secara mentah. Dalam artian pemahaman yang hanya bersifat harfiah. Orang islam sering kali tertipu dengan ayat-ayat Alquran karena redaksi bahasanya. Akibatnya, banyak orang yang melakukan aksi-aksi menyimpang yang merusak tatanan kemanusiaan dengan alasan melakukan perintah Alquran (Allah) sepertikekerasan, terorisme dan kejahatan lainnya dengan mengatasnamakan Islam.
            Jika kita mengikuti perkembangan media, berita yang seringkali disuguhkan melalui layar kaca televisi atau media cetak adalah kejahatan terror atau sering disebut dengan terorisme.Yang paling popular adalah berkenaan dengan ISIS (Islamic State Irak and Syiria).
ISIS mengklaim dirinya sebagai sebuah gerakan dan kelompok militan jihad.ISIS dikenal karena memiliki interpretasi yang keras pada Islam dan kekerasan brutal, seperti bom bunuh diri, pembunuhan, menjarah bank dan lainnya.Target serangan ISIS diarahkan terutama terhadap Muslim Syiah dan Kristen.Pemberontak di Irak dan Suriah ini telah menewaskan ribuan orang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan lebih dari 2.400 warga Irak yang mayoritas warga sipil tewas sepanjang Juni 2014. Jumlah korban tewas ini merupakan yang terburuk dari aksi kekerasan di Irak dalam beberapa tahun terakhir. Aksi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ini telah menyebabkan tak kurang dari 30.000 warga kota kecil di timur Suriah harus mengungsi.
Tak cukup hanya itu, kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) semakin hari semakin menunjukkan jati diri mereka yang sangat keji dan tidak berprikemanusiaan.Dunia dibuat muak dengan segala pameran kekerasan kekejaman ISIS terhadap tawanan yang mereka tangkap. Diantara kekerasan mereka adalah pemerkosaan terhadap tawanan non muslim, mengeksekusi mati wartawan amerika dengan cara menggorok lehernya, membakar hidup-hidup 45 orang Irak termasuk anak-anak, melakukan perekrutaan dan cuci otak terhadap anak di bawah umur untuk jadi jihadis dan menggantung 8 tawanan di pintu masuk kota Hawija, Irak.
Kekejaman yang dilakukan ISIS, tidak lagi menghargai nilai-nilai kemanusiaan.Hal ini merupakan krisis akut yang ada di zaman modern.Krisis pemahaman beragama yang terjadi pada masa modern ini merupakan krisis yang paling berbahaya dari pada krisis lainnya seperti, individualisme, materialisme, pragmatisme dan krisis-krisis lainnya.Hal ini tentu sangat melenceng dari esensi ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanisme).Islam adalah firman: risalah kebajikan yang ditujukan bagi seluruh kemanusiaan. Oleh sebab itu, kesetiaan dan pemahaman terhadap islam merupakan di atas segala-galanya, pemahaman terhadap firman tuhan, pemahaman terhadap risalah terhadap risalah yang harus dibuktikan melalui institusi-institusi, yaitu aturan-aturan yang tunduk pada tuntunan-Nya.
Untuk mengatasi krisis-krisis akut di zaman modern ini, dibutuhkan langkah-langkah khusus untuk mengatasi krisis tersebut.Pertama, mendialogkan antara iman dan rasionalitas.Kata iman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kepercayaan (yang berkenaan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, kitab, dan lain sebagainya.Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa (rabbaniyyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan (innalillahi wainna ilaihi raajiuun).Tuhan adalah wujud mutlak, yang menjadi sumber semua wujud dan menisikan wujud selain-Nya.
Dengan keadaan tersebut, maka manusia sebagai wujud yang nisbi harus berusaha terus-menerus dan penuh kesungguhan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.Ini diwujudkan dengan merentangkan garis lurus antara manusia dan Tuhan.Garis lurus itu berada pada hati nurani.Dalam lubuk hatinya yang paling dalam bersemayam kerinduan kepada kebenaran, yang dalam bentuk tertinggi adalah hasrat bertemu dengan Tuhan.Inilah alam, tabiat atau fitrah manusia.Alam manusia ini merupakan wujud perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia.
Terlepas dari itu, terkadang manusia sering terkecoh oleh akal(rasionalitas) nya sehingga melupakan Tuhan.Oleh sebab itu, perlu adanya keselarasan antara iman dan rasionalitas.Iman tanpa rasio adalah sesat.Sebaliknya, rasio tanpa iman adalah sesat.Hal ini cenderung melakukan praktik-praktik menyimpang yang merusak tatanan ciptaan.Dengan demikian, iman haruslah berjalan beriringan bersama rasio. Menurut Thomas Aquinas, filsuf sekaligus rohaniwan abad ke-13, iman dan rasio adalah dua hal yang tidak mungkin bertentangan. Keduanya dapat saling menopang karena keduanya berasal dari Allah.Artinya melalui rasio, kita berupaya mengkaji, meneliti, mencari sebab-akibat, berpikir dan sebagainya untuk sampai pada pemahaman tertentu.Sementara dalam iman, kita menerima hal yang tidak dapat kita pikirkan, tetapi kita dapat merasakannya.Artinya kita menerima dengan kaca mata iman kita, bahwa ada Dzat Tertinggi yang mengatur.
Kedua, memberikan interpretasi inovatif terhadap teks-teks keagamaan.Interpretasi teks keagamaan adalah pondasi dalam memahami dan menjalankan ajaran suatu agama. Jika cara memahami teks itu salah, maka praktik keagamaan yang terlahir darinya juga ikut salah. Menurut Abu Zayd, pembacaan teks-teks keagamaan hingga saat ini menghasikan interpretasi yang bersifat ilmiah-objektif, bahkan banyak diwarnai unsur-unsur mistik, khurafat dan interpretasi literal yang mengatasnamakan agama.
Oleh sebab itu, dalam mewujudkan interpretasi yang hidup dan saintifik teks-teks keagaman, Abu Zayd menawaran interpretasi rasional dan menekankan pentingnya kesadaran ilmiah dalam berinteraksi dengan teks-teks keagamaan.Baginya, interpretasi ini lebih menunjukkan unsur ideologi dari pada unsur keilmiahan dan biasanya dimonopoli oleh kalangan fundamentalis yang mengabaikan indikasi peranan politik baik dalam isu-isu perkembangan, keadilan sosial, independensi ekonomi maupun politik. Hal yang terpenting yang harus diingat dalam menginterpretasi teks keagamaan harus disikapi dengan hati-hati karena menyangkut keimanan suatu kaum yang sangat berbeda implikasinya terhadap interpretasi suatu teks-teks lain.
Seperti contoh jihad, Pengertian jihad dewasa ini tampak makin "menyempit", yaitu hanya dipahami sebagai “perang suci” (holy war) atau “perang bersenjata” (jihad fisik-militer). Bahkan, dewasa ini kalangan masyarakat Barat kerap mengasosiasikan jihad dengan ekstremisme, radikalisme, bahkan terorisme.Padahal jihad memiliki arti yang sangat luas mulai dari mencari nafkah hingga berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum Muslim.Pengertian jihad yang sebenarnya harus dipahami dengan baik dan disosialisasikan kaum Muslim kepada publik agar tidak terjadi miskonsepsi, mispersepsi, dan misunderstanding tentang konsep jihad dalam Islam.
Ketiga, agama harus memberi otonomi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.Ilmu pengetahuan merupakan refleksi manusia tentang apa (pengetahuan) yang diketahui yang diatur dan dibakukan secara sistematis sedemikian rupa sehingga isinya dapat dipertanggung jawabkan, atau dapat pula dikritik dan dibela.
Perkembangan ilmu pengetahuan menurut kecenderungan pragmatis hanya terfokus pada proses mencari dan mendapatkan penjelasan tentang berbagai persoalan yang ada di alam semesta ini. Ilmu pengetahuan memang untuk mencari kebenaran.Namun bukan hanya sebatas itu, ditujukan menjadi solusi untuk memecahkan berbagai permasalan manusia bukan hanya terfokus pada ilmu pengetahuan semata. Di zaman modern ini, ilmu pengetahuan mempunyai gaya magnetik yang luar biasa. Tidak hanya karena kecenderungan empiris dalam ilmu pengetahuan, melainkan karena sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu karena faktanya ilmu pengetahuan berhasil menjawab berbagai persoalan hidup manusia dan berguna membantu manusia mengatasi berbagai kesulitan hidupnya.Sebagai contoh adalah kegunaan ilmu telekomunikasi, medis, ekonomi dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai peran yang urgen sehingga harus diberikan ruang geraknya tanpa membatasi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri
Dengan ketiga langkah tersebut, jika dijalankan secara benar dan sistematis maka bisa dipastikan akan membatu menuntaskan krisis-krisis yang ada di zaman modern ini. Dengan demikian, kehidupan manusia akan jauh lebih baik dan lebih makmur. Wallahu A’lam Bish-Shawaab.



No comments:

Post a Comment

Baca Juga