BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIMBISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)

adsene camd

Wednesday 20 January 2016

Gafatar; Potret Kegagalan Dakwah

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Oleh: Ulul Hidayat
Edisi Koran Wawasan, 20 Januari 2016
Akhir-akhir ini, Indonesia dihebohkan dengan munculnya gerakan misterius yang menyita perhatian publik. Generakan itu menamakan diri dengan Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR). Organisasi masyarakat ini sebenarnya bukanlah lahir baru-baru ini, melainkan sudah sejak tahun 2012 lalu, yang pertama kali dideklarasikan di Jakarta. Organisasi yang mengklaim dirinya sebagai organisasi penganut prisnsip kasih sayang dan anti kekerasan ini merupakan jelmaan dari Komunitas Millata Abraham (KOMAR) yang telah lama dibubarkan oleh MUI lantaran paham yang selama ini didakwahkan kepada masyarakat dianggap sesat. Kasus hilangnya beberapa orang belakangan ini semakin memperkuat keberadaan Gafatar. Karena gerakan ini berdokrin eksodus (hijrah) dan mengincar remaja serta kaum terpelajar sebagai mangsa.
Secara sekilas, kegiatan yang dilakukan sangat baik. Segala bentuk kegiatannya dibungkus rapi dengan  kegiatan sosial, seperti mengedepankan kasih sayang antar sesama, donor darah, dan masih banyak lagi yang lainnya. Program utama dari organisasi ini juga cukup menggiurkan yaitu Ketahanan dan Kemandirian Pangan (KKP). Namun, organisasi ini tidak ada sangkut pautnya dengan organisasi keagamaan.
  Dalam website resminya, Ketua Umum Gafatar, Mahful M. Tumanurung  menyebutkan bahwa, Gafatar tak akan berevolusi menjadi organisasi keagamaan maupun politik. Masalah keagamaan bukanlah ranah kerja Gafatar. Namun sungguh aneh. Pasalnya setiap anggota yang telah bergabung dalam gerakan ini harus menandatangani sebuah surat yang menyatakan anggotanya harus meninggalkan segala bentuk kegiatan yang bersifat syariah. Seperti shalat, puasa, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu misi terselubung dibalik kegiatan yang telah dilakukan yang erat kaitannya dengan agama.
Dipandang dari sisi sosial, oraganisasi ini memang sangat layak untuk diapresiasi lantaran program-program yang selama ini telah dijalankan sangat bermanfaat untuk banyak orang. Seperti, penanaman 300 bibit pohon jabon di Jombang, donor darah yang dilakukan 3 bulan sekali di RS Fatmawati, pelatihan kebencanaan dan lain sebagainya. Namun secara dakwah keagamaan, gerakan yang berlambangkan matahari terbit ini tidak bisa dibenarkan. Khususnya yang berkaitan dengan  islam.
Doktrin mereka adalah bahwa Islam adalah Dien, Bukan Agama. Mereka menganggap ritual keagamaan yang dilakukan umat islam seperti shalat, puasa, zakat, ibadah haji dan yang lain-lain tidak berguna. Tidak berhenti disitu, kesesatan mereka semakin terlihat. Mereka tidak mengakui Hadits sebagai pedoman dan menganggap Nabi Muhammad SAW sebagai keturunan Fir’aun.  Atau dengan kata lain tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi. Hal seperti ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam.
Tugas Siapa?
Untuk berdakwah tentang kebenaran agama islam merupakan tugas setiap muslim. Dalam Al-Quran Allah berfirman “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imron [3]: 104). Nada serupa juga dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya: “Ajaklah mereka memeluk Islam dan beritahu mereka apa-apa yang diwajibkan atas mereka yang berupa hak Allah di dalamnya. Demi Allah, Allah memberi petunjuk kepada seseorang lantaran engkau, adalah lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah”.
Dakwah Islam bukan hanya serangkaian kata yang diulang-ulang atau pidato agitatif (berapi-api) yang memukau. Juga bukan serentetan filsafat pemikiran yang menerawang, namun tidak pernah melahirkan satu realita pun dalam kehidupan. Tapi dakwah Islam adalah dakwah yang bersifat amaliah, mewujudkan sosok gerakan keteladanan, menjanjikan satu jaminan kepercayaan kepada umat manusia tentang apa yang didambakan jiwa dan apa yang dipandang oleh akal dan rohani sebagai ketenteraman dan ketenangan batin, petunjuk dan nilai kebenaran serta kebaikan.
Melihat realita dewasa ini, semangat para Da’i atau cendekiawan muslim dalam mensyiarkan agama islam semakin mengendor. Lebih miris lagi, pemahaman terhadap agama tidak komprehenship, sehingga dampaknya fatal. Hal ini banyak terdengar di mesjid-mesjid dalam pidato-pidato para da’i kekinian. Mayoritas dakwah mereka cenderung berisikan hal-hal yang bersifat balasan buruk di akhirat (azab atau siksa neraka) dari pada yang baik-baik.
Doktrin seperti inilah yang kerap kali dipahami keliru oleh masyarakat. Didukung dengan isu-isu terorisme yang mengatas namakan islam. Akibatnya, Islam yang merupakan agama damai berubah menjadi agama yang menakutkan sehingga memberatkan bagi pemeluk-pemeluknya.
Disamping itu, masyarakat jarang mendapat pendampingan yang konsisten dari para cendekiawan muslim untuk memahami agama lebih dalam. Ibarat orang memancing, ikan hasil tangkapannya dibiarkan mati dan membusuk begitu saja. Inilah potret yang kerap kali terjadi disekeiling kita. Jika demikian, maka tidak salah jika muncul doktrin baru yang lebih mudah dan menyenangkan dan ditambah dengan dalil yang dipelesetkan pemahannya sebagai bumbu,  masyarakat lebih tertarik untuk mengikutinya.
Salah Siapa?
            Kasus munculnya gerakan-gerakan menyimpang dari nilai-nilai agama merukan potret kegagalan dakwah. Jika terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan di masa mendatang akan muncul gerakan-gerakan baru yang lebih ekstrim. Hal ini tentu sangat menggaggu terhadap keseimbangan negara, masyarakat, khususnya masyarakat muslim.
            Oleh sebab itu, dengan fenomena Gerakan Fajar Nusantara belakangan ini cukup menjadi pecut semangat bagi para da’i dan cendekiawan islam untuk terus berdakwah dan memberikan pendampingan bagi setiap orang yang belum memahami ajaran agama secara mendalam. Karena tugas da’i adalah menyampaikan kebenaran, mengajak manusia ke jalan Allah.  Dengan demikian, tugas kenabian yang diemban sebagai pensyiar islam semakin berat.
                Terlepas dari itu semua, tugas menyampaikan kebenaran Islam, tidak mutlak hanya menjadi tugas mereka yang digelari ulama, guru ngaji, guru agama, dan dosen agama saja, melainkan siapa saja yang mengetahui kebenaran, wajib menyampaìkan pada yang lain.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab  


Friday 1 January 2016

Memanggil Kembali Peran Islam ke dalam Humanisme Modern

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Tidak bisa dipungkiri, di era modern ini teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat, khususnya teknologi dan informasi.Teknologi kini telah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan mayoritas manusia di dunia.Hal ini dilakukan sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan harkat martabat manusia.Perkembangan teknologi yang semakin canggih telah memberikan dampak yang signifikan bagi penggunanya. Perubahan gaya, fashion dan tingkah laku tidak terlepas dari pengaruh teknologi. Bukan itu saja, segala bentuk pekerjaan kini bisa dilakukan dengan lebih efektif dan efisien dengan dilapis teknologi.
Di sisi lain, disaat zaman modern(kemodernan) digadang-gadangkan sebagai karya manusia yang paling hebat, tetapi zaman modern juga menyimpan seribumasalah.Perkataan “modern” identik dengan penilaian yang cenderung positif (modern berarti maju dan baik). Padahal, dari sudut hakikatnya zaman modern itu sesungguhnya tidak demikian.Di balik semua kemajuan yang dibawanya telah mengakibatkan krisis-krisis yang berakibat kepada seluruh aspek kehidupan dunia dan isinya.Dalam artian, berdampak kepada rusaknya keseimbangan alam dan habitatnya.
Krisis ini bersifat globaldan mencakup wilayah yang sangat kompleks.Tidak lagi hanya terbatas pada wilayah tertentu, melainkan diseluruh dunia.Di alami oleh setiap kelompok manusia serta makhluk hidup dan mati lainnya.Menurut orang-orang yang punya mata “kritis” terhadap realitas, akar dari krisis ini bersemayam di dalam realitas kemodernan.Siapapun tidak bisa menyangkal bahwa realitas kehidupan modern kontemporer adalah realitas yang sangat problematik yang terus-menerus menggerogoti keutuhan eksistensi manusia dan habitatnya.
Telah terjadi begitu banyak kerusakan lingkungan (alam) yang juga merupakan habitat manusia itu sendiri.Kerusakan lingkungan ini terjadi disebabkan adanya sikap dominasi atau penguasaan manusia terhadap alam.Sikap dominasi ini berwujud pada berbagai bentuk eksploitasi terhadap alam.Semua eksploitasi ini jelas-jelas berkembang pesat di dalam zaman modern yang “bangga” dengan aktifitas industrinya.Krisis lingkungan menimbulkan banyak akibat yang sangat merugikan. Karena lingkungan alam sendiri merupakan habitat manusia , maka secara tidak langsung hidup dan diri manusia pun terkena imbas buruknya. 
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa krisis alam secara langsung juga menjadi salah satu sebab kemanusiaan masa kini. Manusia modern tidak sadar bahwa ia sesungguhnya adalah bagian dari alam (keseluruhan kosmos). Sebaliknya, ia menganggap dirinya sebagai entitas yang terpisah dari alam. Dengan bekal akal, yakni sebuah kemampuan (faculty) yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh makhluk lain di dunia ini. Dengan akal ini manusia memberi bukti bahwa ia mampu melakukan banyak hal yang hebat di dalam hidupnya. Bahkan bisa menemukan hukum-hukum alam dan kemudian bisa memanipulasinya.Oleh karena itu manusia menjadi “sombong” dan menganggap dirinya lebih dari alam, sehingga bisa memanfaatkannya semata-mata demi kepentingannya pribadi.
Bekerja demi kepentingan diri sendiri atau dengan kata lain penekanan pada individualitas yang absolut merupakan salah satu karakter utama paradigma modern. Rene Descartes, dengan konsep “cogito ergo sum”-nya, demikian pula Francis Bacon atau Isaac Newton telah menggulirkan berbagai konsep dasar bagi sains modern, yang pada akhirnya memperkuat kecenderungan individualistik modern.
Dengan teori cogito ergo sum, Descartes menjelaskan bahwa materi dan pikiran adalah dua hal yang berbeda. Tidak ada satupun di dunia ini yang punya eksistensi yang sejati kecuali pikiran.Dengan demikian dalam dikotomi antara pikiran dan materi tadi, yang sungguh eksis adalah pikiran. Dengan kata lain pikiran di atas materi. Konsep inilah yang kemudian menjadi perintis terjadinya dikotomi antara manusia dan alam, yang selanjutnya melegitimasi kekuasaan dan eksploitasi manusia atas alam.
Pemisahan antara pikiran dan materi ala Descartes ini, yangmenekankan pada superioritas ratio atas segala sesuatu menjadi dasar terhadap pemikiran modern lainnya.Beberapa karakteristik dasar kemodernan yang muncul dari konsep Descartes adalah seperti rasionalisme, individualisme, subjektivisme dan matearialisme.
Descartes adalah seorang filsuf sekaligus ahli matematika. Ia mencoba mengadopsi rasionalisme kedalam sains modern.Kerangka pemikiran rasionalis-materialis ini kemudian dikaitkan dengan matematika. Alhasil, dari proses itu ia mengungkapkan suatu kesimpulan yang sangat mendasar bagi perkembangan sains modern, yakni bahwa melalui matematika seorang bisa meraih suatu pemahaman yang sempurna tentang alam semesta.
Bagi Descartes, seluruh alam semesta ini adalah suatu mekanisme yang diatur oleh hukum matematis. Jadi, jika hukum-hukum matematika itu sudah bisa ditemukan, maka seluruh dunia material bisa diketahui dan dipahami.Konsep ini jelas selaras dengan konsepnya tentang individual (rescogiatains) sebagai entitas yang terpisah dari alam materi (reisextensa).
Sesuatu yang telah terjadi pada Descartes ini merupakan salah satu bukti revolusi ilmu pengetahuan alam yang terjadi pada masa Renaisans.Banyak ahli menduga, boleh jadi revolusi ilmu pengetahuan alam inilah yang sebetulnya menjadi perintis bagi pemikiran modern yang kita kenal sangat saintifik.
Secara historis, pemikiran materialis menjadi ideologi dasar kemodernan,kemudian berkembang memanifestasikan dirinya dalam berbagai tren intelektual modern, mulai dari rasionalisme (Descartes), empirisme (Inggris), kritisisme, idealisme, positivisme (comte), materialism, marxisme, pragmatisme, eksistensialisme, nihilisme, hingga struktualisme. Semua tren intelektual tersebut ikut berpartisipasi pada kemajuan sains modern yang begitu pesat dan canggih, sehingga akhirnya paradigma saintifiklah yang menjadi paradigma utama kemodernan.

Tuhan di Masa Modern
Di zaman modern, pengetahuan (ide) monoteisme yang menanamkan keyakinan kepada manusia tentang adanya kekuatan yang transendental itu secara gradual semakin terkikis. Karena yang kuat menanamkan ide yang transendental itu agama, maka agama akhirnya dianggap sudah tidak relevan lagi, dengan kata lain tidak cocok di anut di masa modern ini. Alasannya adalah karena manusia tidak lagi memiliki kesadaran bahwa hidupnya tidak hanya dilingkungi oleh sesuatu yang bisa dilihat dan dipahami saja, tetapi juga oleh sesuatu yang abstrak dan karenanya tidak bisa dipahami.Budaya saintis yang menjadi pra-syarat utama bagi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa mengajarkan manusia hanya untuk memperlihatkan dan mengetahui gejala-gejala fisikal dan material saja (metode positifistik).Satu dari konsekuensi kongkrit dari metode itu adalah hilangnya kesadaran akan nilai-nilai spiritual yang suci yang bersifat transendental.
Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Knowlage and the Sacred mengungkapkan bahwa salah satu persoalan dasariah kemodernan adalah terjadinya keterpisahan yang radikal antara pengetahuan dari yang Kudus. Menurut Nasr, pada permulaannya (jauh sebelum kemunculan realitas kemodernan), pengetahuan memiliki realitas yang dalam dengan realitas prinsipal dan primordial yakni yang Kudus.
Sejalan dengan perkembangan waktu dan terjadinya berbagai refraksi serta refleksi terhadap realitas berdasarkan banyak sekali cermin manifestasi baik yang mikroskopis maupun makroskopis, pengetahuan berangsur-angsur menjadi terpisah dari Being serta dari ekstasi, yang menjadi ciri persatuan antara pengetahuan dengan Being (yang Kudus).
Keterpisahan ini menjadi sedemikian radikal di dalam realitas kemodenan.Dalam kemodernan ini, pengetahuan hampir secara lengkap tereksternalisasi serta terdesakralisasi sehingga konsekuensinya kebahagiaan yang merupakan buah dari persatuannya dengan roh Kudus, menjadi sedemikian sulit diraih. Pada dasarnya, menurut Nasr, akar dan esensi dari pengetahuan tidak pernah akan terpisahkan dari yang Kudus karena substansi dari pengetahuan adalah pengetahuan tentang realitas suprim atau yang Kudus itu sendiri.
Intelegensi yang adalah instrumen pengetahuan yang terdapat dalam diri manusia dilengkapi dengan kemungkinan untuk mengetahui yang absolut.Layaknya sebuah sinar yang teremanasi dari dan kemudian kembali kepada yang absolut tersebut.Intelegensi itu merupakan bukti dari realitas absolut yang infinitif tersebut. Manusia zaman modern menurut Nasr, telah kehilangan perasaan kagum sebagai akibat dari hilangnya rasa akan yang Kudus.
Kemunculan gagasan seperti itu diakibatkan adanya ketidakmampuan sistem keimanan (kepercayaan) yang berlaku untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat modern dengan ilmu pengetahuannya.Kemajuan masyarakat yang sudah berhasil dan begitu percaya pada iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), akhirnya berkembang lepas dari kontrol agama.Iptek yang landasan pokoknya bersifat sekuler bagi mayoritas orang menggantikan posisi agama.Segala kebutuhan agama seolah bisa terpenuhi dengan dan melalui Iptek.Namun seiring berjalannya waktu iptek ternyata menghianati kepercayaan manusia.Kemajuan iptek justru identik dengan bencana. Kondisi inilah yang tampaknya membuat masyarakat mengalami apa yang disebut Nurcholish Madjid sebagai krisis epistemologis, yakni masyarakat tidak lagi mengetahui tentang makna tujuan hidup (meaningandpurpose of life).
Memanggil kembali peran Islam
Islam, in entering into the proletarian underword of our latter day Western civilization, may eventually compete with India and the Far East and Russia for the price of influencing the future in ways that may pass our understanding (Arnold Toynbee).
“in ways that may pass our understanding” suatu ungkapan yang menyimpan keraguan tentang diri sendiri (orang modern) yang diselipkan dalam pandangan tentang kemungkinannya kelompok manusia lain (Islam) untuk menemukan jalan hidup yang lebih unggul daripada yang ada pada orang (barat) modern sekarang ini. Ungkapan Arnold Toynbee merupakan harapan kepada bangsa muslim, untuk aktif berpartisipasi dalam usaha mengembangkan peradaban modern.
Banyak hal yang tersirat dari ungkapan Toynbee itu, namun yang paling penting adalah bahwa orang-orang modern (barat) sendiri banyak yang menyadari aspek-aspek kekurangan pada peradaban modern mereka.Setelah mereka telusuri, aspek kekurangan itu kebanyakan bersumber dari paham materialismenya yang sangat menonjol. Hal ini disebabkan karena banyak orang Barat yang beranggapan bahwa keunggulan mereka tentang ekonomi dan teknologi tak akan terkejut oleh siapapun dari bangsa-bangsa lain di dunia ini, namun mereka masih tetap melihat peluang supremasimereka itu ditantang untuk temuan akan suatu bentuk teknik dan organisasi yang lebih unggul, yang dapat melampaui produktifitas teknik dan organisasi mereka.
Oleh sebab itu, barangkali saja kegagalan atau kesulitan manusia menemukan makna hidup itu ialah karena mereka sejauh ini dan di tempat yang mereka kenal , disuguh dengan konsep-konsep ultimacy dalam bentuk paham ketuhanan yang mereka rasa tidak cocok dengan sendi-sendi modernitas itu sendiri. Dan jika modernitas adalah perkembangan alami manusia, maka ketidakcocokan bisa bermakna serius, Yaitu tidak cocok dengan alam manusia itu sendiri. Karena itu tuntunan-tuntunan kepada ketuhananpun sangat negatif.
Sebab yang mendasari setiap tuntunan kepada konsep ketuhanan yang bisa direpresentasi Tuhan adalah ketidaksabaran orang akan kenisbian diri dan kemampuannya, termasuk intelektual dan imajinatifnya. Dengan kata lain tuntunan untuk merepresentasi tuhan timbul karena orang memahami tuhan sebagai nisbi.
Berdasarkan itu, Islam (iman) tidak akan hilang oleh modernitas. Malah iman yang benar, yang bebas dan murni dari semua bentuk representasi, seperti dicerminkan dalam ikonoklastik- anti gambar representasi obyek-obyek suci seperti Tuhan, malaikat, nabi dan lainnya dalam agama Islam, akan lebih mendapat dukungan dari manusia modern. Sebab dengan iman yang murni ia akan tetap memiliki pegangan hidup, dan bersama dengan itu sekaligus membebaskan diri dari belenggu tahayyul dan supersitisi. 
Islam dan Humanisme                                                                                             
            Islam adalah agama samawi terbaik yang diturunkan Allah ke dunia fana ini.Karena Islam diturunkan melalui Nabi dan Rasul terakhir yaitu Muhammad s.a.w. yang berfungsi sebagai penyempurna dari ajaran tauhid dan syariah yang diajarkan pada para Nabi dan Rasul sebelumnya.Dari segi kuantitas pemeluknya Islam adalah agama kedua terbesar di dunia setelah Kristen.Secara umum Islam berarti damai (as-salam) dan penyerahan diri (istislam) pada Allah pencipta segala sesuatu dengan penyerahan diri yang sempurna dari manusia kepada Allah dalam segala urusan kehidupan. Dengan kata lain, Islam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kemaslahatan umat.
            Di tengah kondisi masyarakat modern, esensi tentang islam lambat laun mulai terkikis. Hal ini disebabkan karena dangkalnya pemahaman berkaitan dengan Islam itu sendiri. Alquran sebagai pedoman bagi muslim sering kali diterjemahkan secara mentah. Dalam artian pemahaman yang hanya bersifat harfiah. Orang islam sering kali tertipu dengan ayat-ayat Alquran karena redaksi bahasanya. Akibatnya, banyak orang yang melakukan aksi-aksi menyimpang yang merusak tatanan kemanusiaan dengan alasan melakukan perintah Alquran (Allah) sepertikekerasan, terorisme dan kejahatan lainnya dengan mengatasnamakan Islam.
            Jika kita mengikuti perkembangan media, berita yang seringkali disuguhkan melalui layar kaca televisi atau media cetak adalah kejahatan terror atau sering disebut dengan terorisme.Yang paling popular adalah berkenaan dengan ISIS (Islamic State Irak and Syiria).
ISIS mengklaim dirinya sebagai sebuah gerakan dan kelompok militan jihad.ISIS dikenal karena memiliki interpretasi yang keras pada Islam dan kekerasan brutal, seperti bom bunuh diri, pembunuhan, menjarah bank dan lainnya.Target serangan ISIS diarahkan terutama terhadap Muslim Syiah dan Kristen.Pemberontak di Irak dan Suriah ini telah menewaskan ribuan orang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan lebih dari 2.400 warga Irak yang mayoritas warga sipil tewas sepanjang Juni 2014. Jumlah korban tewas ini merupakan yang terburuk dari aksi kekerasan di Irak dalam beberapa tahun terakhir. Aksi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ini telah menyebabkan tak kurang dari 30.000 warga kota kecil di timur Suriah harus mengungsi.
Tak cukup hanya itu, kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) semakin hari semakin menunjukkan jati diri mereka yang sangat keji dan tidak berprikemanusiaan.Dunia dibuat muak dengan segala pameran kekerasan kekejaman ISIS terhadap tawanan yang mereka tangkap. Diantara kekerasan mereka adalah pemerkosaan terhadap tawanan non muslim, mengeksekusi mati wartawan amerika dengan cara menggorok lehernya, membakar hidup-hidup 45 orang Irak termasuk anak-anak, melakukan perekrutaan dan cuci otak terhadap anak di bawah umur untuk jadi jihadis dan menggantung 8 tawanan di pintu masuk kota Hawija, Irak.
Kekejaman yang dilakukan ISIS, tidak lagi menghargai nilai-nilai kemanusiaan.Hal ini merupakan krisis akut yang ada di zaman modern.Krisis pemahaman beragama yang terjadi pada masa modern ini merupakan krisis yang paling berbahaya dari pada krisis lainnya seperti, individualisme, materialisme, pragmatisme dan krisis-krisis lainnya.Hal ini tentu sangat melenceng dari esensi ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanisme).Islam adalah firman: risalah kebajikan yang ditujukan bagi seluruh kemanusiaan. Oleh sebab itu, kesetiaan dan pemahaman terhadap islam merupakan di atas segala-galanya, pemahaman terhadap firman tuhan, pemahaman terhadap risalah terhadap risalah yang harus dibuktikan melalui institusi-institusi, yaitu aturan-aturan yang tunduk pada tuntunan-Nya.
Untuk mengatasi krisis-krisis akut di zaman modern ini, dibutuhkan langkah-langkah khusus untuk mengatasi krisis tersebut.Pertama, mendialogkan antara iman dan rasionalitas.Kata iman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kepercayaan (yang berkenaan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, kitab, dan lain sebagainya.Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa (rabbaniyyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan (innalillahi wainna ilaihi raajiuun).Tuhan adalah wujud mutlak, yang menjadi sumber semua wujud dan menisikan wujud selain-Nya.
Dengan keadaan tersebut, maka manusia sebagai wujud yang nisbi harus berusaha terus-menerus dan penuh kesungguhan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.Ini diwujudkan dengan merentangkan garis lurus antara manusia dan Tuhan.Garis lurus itu berada pada hati nurani.Dalam lubuk hatinya yang paling dalam bersemayam kerinduan kepada kebenaran, yang dalam bentuk tertinggi adalah hasrat bertemu dengan Tuhan.Inilah alam, tabiat atau fitrah manusia.Alam manusia ini merupakan wujud perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia.
Terlepas dari itu, terkadang manusia sering terkecoh oleh akal(rasionalitas) nya sehingga melupakan Tuhan.Oleh sebab itu, perlu adanya keselarasan antara iman dan rasionalitas.Iman tanpa rasio adalah sesat.Sebaliknya, rasio tanpa iman adalah sesat.Hal ini cenderung melakukan praktik-praktik menyimpang yang merusak tatanan ciptaan.Dengan demikian, iman haruslah berjalan beriringan bersama rasio. Menurut Thomas Aquinas, filsuf sekaligus rohaniwan abad ke-13, iman dan rasio adalah dua hal yang tidak mungkin bertentangan. Keduanya dapat saling menopang karena keduanya berasal dari Allah.Artinya melalui rasio, kita berupaya mengkaji, meneliti, mencari sebab-akibat, berpikir dan sebagainya untuk sampai pada pemahaman tertentu.Sementara dalam iman, kita menerima hal yang tidak dapat kita pikirkan, tetapi kita dapat merasakannya.Artinya kita menerima dengan kaca mata iman kita, bahwa ada Dzat Tertinggi yang mengatur.
Kedua, memberikan interpretasi inovatif terhadap teks-teks keagamaan.Interpretasi teks keagamaan adalah pondasi dalam memahami dan menjalankan ajaran suatu agama. Jika cara memahami teks itu salah, maka praktik keagamaan yang terlahir darinya juga ikut salah. Menurut Abu Zayd, pembacaan teks-teks keagamaan hingga saat ini menghasikan interpretasi yang bersifat ilmiah-objektif, bahkan banyak diwarnai unsur-unsur mistik, khurafat dan interpretasi literal yang mengatasnamakan agama.
Oleh sebab itu, dalam mewujudkan interpretasi yang hidup dan saintifik teks-teks keagaman, Abu Zayd menawaran interpretasi rasional dan menekankan pentingnya kesadaran ilmiah dalam berinteraksi dengan teks-teks keagamaan.Baginya, interpretasi ini lebih menunjukkan unsur ideologi dari pada unsur keilmiahan dan biasanya dimonopoli oleh kalangan fundamentalis yang mengabaikan indikasi peranan politik baik dalam isu-isu perkembangan, keadilan sosial, independensi ekonomi maupun politik. Hal yang terpenting yang harus diingat dalam menginterpretasi teks keagamaan harus disikapi dengan hati-hati karena menyangkut keimanan suatu kaum yang sangat berbeda implikasinya terhadap interpretasi suatu teks-teks lain.
Seperti contoh jihad, Pengertian jihad dewasa ini tampak makin "menyempit", yaitu hanya dipahami sebagai “perang suci” (holy war) atau “perang bersenjata” (jihad fisik-militer). Bahkan, dewasa ini kalangan masyarakat Barat kerap mengasosiasikan jihad dengan ekstremisme, radikalisme, bahkan terorisme.Padahal jihad memiliki arti yang sangat luas mulai dari mencari nafkah hingga berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum Muslim.Pengertian jihad yang sebenarnya harus dipahami dengan baik dan disosialisasikan kaum Muslim kepada publik agar tidak terjadi miskonsepsi, mispersepsi, dan misunderstanding tentang konsep jihad dalam Islam.
Ketiga, agama harus memberi otonomi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.Ilmu pengetahuan merupakan refleksi manusia tentang apa (pengetahuan) yang diketahui yang diatur dan dibakukan secara sistematis sedemikian rupa sehingga isinya dapat dipertanggung jawabkan, atau dapat pula dikritik dan dibela.
Perkembangan ilmu pengetahuan menurut kecenderungan pragmatis hanya terfokus pada proses mencari dan mendapatkan penjelasan tentang berbagai persoalan yang ada di alam semesta ini. Ilmu pengetahuan memang untuk mencari kebenaran.Namun bukan hanya sebatas itu, ditujukan menjadi solusi untuk memecahkan berbagai permasalan manusia bukan hanya terfokus pada ilmu pengetahuan semata. Di zaman modern ini, ilmu pengetahuan mempunyai gaya magnetik yang luar biasa. Tidak hanya karena kecenderungan empiris dalam ilmu pengetahuan, melainkan karena sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu karena faktanya ilmu pengetahuan berhasil menjawab berbagai persoalan hidup manusia dan berguna membantu manusia mengatasi berbagai kesulitan hidupnya.Sebagai contoh adalah kegunaan ilmu telekomunikasi, medis, ekonomi dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai peran yang urgen sehingga harus diberikan ruang geraknya tanpa membatasi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri
Dengan ketiga langkah tersebut, jika dijalankan secara benar dan sistematis maka bisa dipastikan akan membatu menuntaskan krisis-krisis yang ada di zaman modern ini. Dengan demikian, kehidupan manusia akan jauh lebih baik dan lebih makmur. Wallahu A’lam Bish-Shawaab.



Nestapa Manusia Perahu

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Belakangan ini media (elektronik atau cetak) di Indonesia ramai manyajikan berita tentang etnis Rohingya lantaran mereka menjadi pengungsi yang terkatung-katung di laut dengan jumlah yang tidak sedikit. Setelah ditolak di Negara Malaysia, Thailand sebelum  akhirnya mereka diselamatkan oleh nelayan Aceh. Siapakah etnis Rohingya itu? Rohingya merupakan salah satu etnis minoritas di Myanmar yang tinggal di Provinsi Rakhine yang dulunya bernama Arakan.  Namun fakta-fakta sejarah mengenai etnis Rohingya cukup bervariasi, banyak perbedaan dan klaim para sejarawan dalam mendeskripsikan asal-usul bangsa ini.
Seorang sejarawan bernama Khalilur Rahman mengatakan bahwa kata "Rohingya" berasal dari bahasa Arab yaitu "Rahma" yang berarti pengampunan. Dia juga menelusuri tentang peristiwa kecelakaan kapal pada abad ke-8, tepatnya pada saat kapal Arab terdampar di Pulau Ramree (perbatasan Myanmar dan Bangladesh). Pada saat itu, para pedagang keturunan Arab itu terancam hukuman mati oleh Raja Arakan. Mereka memberontak dan berteriak "Rahma." Penduduk Arakan kesulitan untuk menyebut Kata "Rahma" mereka justru menyebut "Raham" (kasihanilah kami) dari "Raham" kata itu berubah menjadi "Rohang" dan akhirnya menjadi "Rohingya."
Sejarahwan lain, bernama MA Chowdhury berpendapat lain. Chowdhury meyakini bahwa populasi Muslim yang bernama "Mrohaung" di antara warga Myanmar. Warga "Mrohaung" ini berasal dari Kerajaan Kuno Arakan dan nama "Mrohaung" diubah menjadi "Rohang."
Sedangkan menurut sejarawan Myanmar, Khin Maung Saw menjelaskan bahwa warga Rohingya tidak pernah muncul dalam sejarah Myanmar, sebelum tahun 1950. Sejarawan Myanmar lainnya juga yakin, tidak ada kata "Rohingya" dalam sensus penduduk 1824 yang dilakukan oleh Kolonial Inggris.
Sejarah Perjalanan Etnis Rohingya
Dalam catatan sejarah etnis Rohingya berasal dari pedagang Arab yang bermukin di wilayah Rakhine (perbatasan Bangladesh dan Myanmar saat ini) pada Abad ke-7. Pada tahun 1785 Kerajaan Birma (sekarang Myanmar) melakukan invasi militer ke wilayah Rakhine dan berhasil menguasainya. Namun mereka tidak mau mengakui keberadaan etnis Rohingya sebagai warganya.
 Hal ini ada perubahan ketika Inggris melakukan kolonialisasi pada 1826. Pemerintah Kolonial Inggris memindahkan beberapa etnis Rohingya ke wilayah Birma dengan tujuan untuk membantu peningkatan produksi pertanian karena wilayah Birma cocok untuk pertanian.
Pada awal Abad ke-19, gelombang imigrasi kaum Rohingya ke Birma semakin besar, tidak jarang terjadi bentrokan dengan penduduk asli Birma yang beragama Budha. Namun, pada saat itu Pemerintah Inggris mampu meredam konflik etnis di sana. Namun, kondisi ini diperparah ketika Jepang melakukan invasi militer ke Birma pada era Perang Dunia II, Inggris terpaksa angkat kaki dari Birma.
Pada masa Pendudukan Jepang, umat Budha lebih mendapatkan tempat di pemerintahan dibandingkan dengan etnis Rohingya. Sementara itu, Etnis Rohingya dibantu oleh Pemerintah Inggris, mereka dipersenjatai agar bisa melawan Jepang. Sayangnya, hal itu diketahui oleh Pemerintah Jepang, sehingga timbullah pembantaian kepada etnis Rohingya. Dari peristiwa tersebut, banyak dari mereka yang melarikan diri ke Bangladesh. Hal inilah yang kelak menyebabkan etnis Rohingya tidak mendapat pengakuan dari Pemerintah Myanmar sekarang.
Selepas Perang Dunia II, Etnis Rohingya sempat mendirikan negara. Namun, tidak ada satu pun negara yang mau mengakuinya. Di sisi lain, Birma telah mendapatkan kemerdekaan pada 1948, mereka menganggap Rohingya merupakan pemberontak yang harus dibasmi. Keadaan etnis Rohingya semakin parah ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta pada 1962, sehingga muncullah operasi militer terhadap etnis Rohingya, salah satu operasi yang paling terkenal adalah "Operasi Raja Naga" pada 1978, akibatnya 200.000 etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Pemerintah Bangladesh sempat melakukan protes terkait gelombang pengungsi sebanyak itu. Mengingat Bangladesh baru saja memisahkan diri dari Pakistan. PBB pun turun tangan untuk mengatasi masalah Rohingya.
Dalam kesepakatan yang dimediasi oleh PBB, etnis Rohingya dapat kembali ke Myanmar. Pemerintah Bangladesh pun menyambutnya dengan keputusan jika Rohingya bukan merupakan bagian dari warga negara Bangladesh. Keadaan etnis Rohingya tidak juga membaik, Pemerintah Junta Militer Myanmar pun masih melakukan diskriminasi terhadap etnis Rohingya sehingga pecah kerusuhan besar pada tahun 2012 dan 2014.
Pada tahun 2015, Pemerintah Myanmar mencabut status kewarganegaraan etnis Rohingya, sehingga mereka tidak punya kewarganegaraan lagi. Inilah yang menyebabkan mereka mengungsi keluar dari Myanmar karena tidak punya status kewarganegaraan lagi dan perlakuan diskriminasi yang ditujukan kepada mereka.
Sekitar 300.000 Kartu Putih, tanda terakhir yang menunjukkan mereka adalah penduduk Myanmar, sudah diminta dikembalikan oleh pihak berwenang dan dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret lalu. Dengan kartu itu, kaum Rohingya  boleh memberikan suara dalam pemilihan umum. Namun setelah pencabutan kartu identitas tersebut secara otomatis kaum rohingya tidak mempunyai kewarganegaraan dan  tidak memiliki hak suara dalam pemilihan umum.
Pencabutan kartu identitas penduduk inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat mereka nekat mempertaruhkan nyawa mengarungi laut.
Nasib Rohingya
Dalam perjalanan mengarungi lautan, mereka menumpang terhadap kapal-kapal yang diduga dikendalikan oleh jaringan penyelundup manusia dengan tujuan utama Malaysia. Namun ditengah perjalanan ditipu oleh tekong perahu dan akhirnya terdampar di perairan Aceh Utara. Pada awalnya, para pengungsi Rohingya diusir dari perairan Indonesia oleh Angkatan Laut Indonesia sehingga tindakan tersebut dianggap sebagai aib kemanusiaan dunia internasional, meskipun mereka telah memberikan bantuan berupa bahan bakar, makanan dan air.
Pada akhirnya para pengungsi Rohingya diselamatkan oleh nelayan Aceh. Mereka bisa sejenak melepas dahaga dan mendapatkan perlindungan dari pemerintah setempat. Namun terlepas dari itu nasib mereka hingga kini masih belum jelas. Pemerintah belum memberikan keputusan yang tegas mengenai mereka. Apakah akan mengembalikan kepada pemerintahan Myanmar atau menjadikan mereka sebagai warga Negara Indonesia.
Oleh sebab itu, Pemerintah diharapkan sesegera mungkin memberikan keputusan yang jelas mengenai nasib para pengungsi Rohingya tersebut. Jika tidak, dikhawatirkan para pengungsi akan berdatangan lebih banyak lagi. Jika benar demikian maka akan semakin banyak dari pengungsi Rohingya yang akan menderita.
Wallahu A’lam Bish-Sawab                                


Dekadensi Spirit Jamaah Pemuda

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Pemuda merupakan aset bangsa yang paling berharga. Sebab, tingkat kemajuan suatu Negara sangat dipengaruhi oleh para pemuda.  Dalam sebuah stetmennya, Soekarno pernah mengatakan “berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”. Dr. Yusuf Qardhawi, mengibaratkan pemuda sebagai matahari yang bersinar paling terang dan paling panas pada siang hari. Pemuda juga memiliki potensi yang luar biasa seperti dinamit yang jika diledakkan akan menimbulkan kekuatan yang dahsyat dan super mega. Di satu sisi, pemuda disebut sebagai tenaga produktif yang mampu membangun negaranya mencapai masyarakat yang sejahtera dan berdaulat.
Kita perlu mengingat kembali, peristiwa-peristiwa fenomenal yang diprakarsai oleh kaum muda. Seperti Rengasdenglok, gerakan mahasiswa 1966 dan gerakan pemuda 1998. Hal ini menunjukkan bahwa pemuda memegang kunci penting dalam perjalanan sejarah bangsa. Lebih dari itu, pemuda memiliki semangat yang lebih besar dibandingkan orang tua serta  memiliki kekuatan fisik yang lebih kuat dibandingkan anak kecil.
Di Indonesia, jumlah SDM yang tergolong dalam kategori pemuda sangat banyak. Berdasarkan UU Kepemudaan No.40 Tahun 2009, kategori usia pemuda dimulai dari 16 – 30 tahun. Sementara berdasarkan data dari Bappenas, jumlah pemuda tahun 2014 mencapai 62,2 juta jiwa.  Dengan jumlah yang demikian itu, seharusnya Indonesia sudah menjadi Negara yang sejahtera. Namun faktanya tidak demikian.
Pemuda Masa Kini
Dibandingkan dengan pemuda masa lalu, pemuda masa kini banyak mengalami dekradasi. Baik dari segi intelektualitas, kreatifitas ataupun produktifitas. Akibatnya, Indonesia sebagai salah satu negara kaya dengan SDA dan SDM masih belum terbilang sejahtera. Terbukti pengangguran semakin menjamur dan tingkat kemiskinan semakin meningkat. Salah satu faktornya adalah “pemuda”. Padahal peran pemuda sangat diperlukan sebagai regenererasi untuk mewujudkan dan melanjutkan cita-cita bangsa yang telah diperjuangkan oleh pejuang masa lalu.
Kita sering dibuat sedih dengan fakta para pemuda Indonesia saat ini. Semangat mengisi kemerdekaan mereka sangat rendah, bahkan tidak ada. Prilaku-prilaku menyimpang banyak dipertontonkan. Tawuran antar pelajar menjadi hal yang lumrah setiap hari, perjudian meraja-lela, narkoba menjadi sajian hangat layar televisi, mabuk-mabukan, seks bebas, dan lain sebagainya yang merugikan diri sendiri dan meresahkan masyarakat.
Hakikatnya, masalah tentang pemuda masa kini, bukan hanya disebabkan karena emosi semata. Namun juga tingkat egoisme yang tinggi dan asyik dengan diri sendiri tanpa mempedulikan lingkungan sekitar. Di kota-kota metropolitan, kita akan banyak menyaksikan keluarga yang tidak kenal dengan tetangga terdekatnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat kebersamaan antar sesama manusia dikota-kota besar sangat minim.
 Terlebih dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat. Kecenderungan menggunakan handphone dan sejenisnya. Hal ini berdampak pada minimnya kreatifitas dan produktifitas. Misalnya, waktu yang biasanya digunakan untuk belajar diganti untuk bermain-main dengan hp, laptop dan lainnya. Seakan-akan tanpa alat-alat tersebut kita tidak bisa berbuat hal yang bermanfaat.
Pola hidup demikian menjadikan pemuda manja dan terlena dengan hal-hal yang mudah (instan). Akibatnya, mereka secara tidak sadar telah menjerumuskan diri mereka sendiri kepada hal-hal yang negatif; hura-hura, pesta-pora bahkan obat- obat terlarang.
Perlu diketahui bahwa untuk membangun sebuah negeri yang berkelanjutan, kita tidak bisa  berjuang seorang diri atau kelompok sendiri. Perlu adanya jamaah. Ibarat sapau lidi. Jika hanya satu lidi saja maka mustahil bisa membersihkan sampah yang banyak. Sebaliknya, jika terdiri dari beberapa lidi dan diikat menjadi satu kesatuan, maka sampah sebanyak apapun akan bisa diatasi. Begitupun sebuah Negara.



Spirit Jamaah
Oleh sebab itu, untuk membangun negeri ini hendaknya terlebih dahulu mengembalikan ‘’spirit jamaah’’ para pemuda. Kata jamaah merupakan kata yang lumrah disebutkan di Indonesia. Istilah Jamaah identik dengan kelompok atau kumpulan orang yang beribadah. Misalkan jamaah dhuhur, jamaah ashar dan lain sebagainya.
Sebenarnya, arti jamaah telah terkandung dalan dasar Negara Indonesia yaitu Pncasila sila ke-3. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak awal republik ini merdeka, masalah jamaah menjadi hal perting yang harus dijaga.
Semangat jamaah dalam bingkai perjuangan harus merupakan pemahaman yang jelas dan utuh. Persatuan dan kesatuan serta perjuangan bersama harus dimaknai sebagai kesamaan semangat perjuangan. Meskipun terdiri dari berbagai elemen yang berbeda, namun tidak menghilangkan identitas asli masing-masing elemen.
Selain itu, semangat jamaah juga mampu melahirkan pribadi – pribadi yang disiplin. Sebab satu kelompok dengan keompok yang lain akan saling terkait. Jika ada satu kelompok yang stagnan bahkan degradasi, maka akan mempengaruhi terhadap kelompok yang lainnya. Itulah sebabnya semangat jamaah ini harus dipupuk lebih dulu untuk mengembalikan semagat juang para pemuda.
Dengan demikian, kreatifitas dan produktifitas pemuda akan kembali berkobar sehingga mampu membawa bangsa Indonesia kepada lebih baik.
Wallahu a’lam bi al-shawab.


Baca Juga