Pada2016 ini,
pemerintahan Jokowi-JK mulai memberlakukan kebijakan pengampunan pajak atau tax
amnesty. Kebijakan ini dilakukan untuk mendorong potensi penerimaan dalam
APBN khususnya dari sektor pajak, baik pada tahun ini ataupun untuk tahun-tahun
berikutnya. Secara lebih luas, adanya tax amnesty diharapkan mampu memberi
pengaruh positif yang bisa dirasa bagi perekonomian Indonesia di tengah geliat perekonomian
yang semakin melemah.
Tax amnesty merupakan pengampunan atau pengurangan pajak
yang dilakukan oleh pihak perpajakan terhadap aset yang dimiliki oleh perusahaan.
Pengampunan pajak ini meliputi penghapusan pajak terhutang, penghapusan sanksi administrasi
perpajakan, penghapusan sanksi pidana pada bidang perpajakan, maupun sanksi pidana
tertentu yang diharuskan membayar denda.
Tax amnesty sesungguhnya sangat cocok diterapkan di
Indonesia. Sebab, angka wajib pajak yang relatif tinggi. Menurut laporan
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan bahwa jumlah angka wajib
pajak saat ini berjumlah 27 juta. Sedangkan jumlah penerimaan pajak pada tahun2015
bertambah sekitar Rp 5,24 triliun. Penerimaan per 31 Desember 2015 yang awalnya
berjumlah Rp 1.005.89 triliun menjadi Rp 1.011,2 triliun. Penambahan ini membuat
hasil penghitungan akhir bahwa penerimaan pajak mencapai Rp 1.060 triliun. Angka
tersebut banyak dihasilkan dari sektor pajak meliputi pajak non minyak, gas dan
pajak terkait migas.
Jumlah tersebut
diketahui setelah ada rekonsiliasi data pada 8 Januari lalu. Hasilnya, total
pendapatan pajak non migas menjadi Rp 1.011 triliun, sedangkan penerimaan totalnya
Rp 1.060 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa penerimaan pajak tahun 2015
meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Di Indonesia,
perolehan dana dari sektor pajak merupakan pendapatan Negara yang sangat tinggi.
Sejak 2013 lalu, perolehan dana pajak di Indonesia telah mencapai Rp. 1.000
triliun bahkan lebih. Oleh sebab itu, adanya kebijakan tax amnesty pada kondisi
saat ini sangatlah tepat di tengah ramainya pembangunan infrastruktur yang
tengah digarap oleh pemerintah.
Pembangunan Infrastukur
Pemerintah saat ini tengah
gencar melakukan percepatan pembangunan Nasional. Khususnya di sektor infrastruktur,
baik itu berupa proyek pembuatan jalan tol, kereta cepat, tenaga listrik dan
lain sebagainya. Sebab, infrastruktur yang ada di Indonesia masih belum memadai.
Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, pembangunan infrastruktur di
Indonesia masih sangat rendah. Puspa Wulandari, staff ahli Kementerian Keuangan
RI dalam seminar tax amnesty memaparkan bahwa Infrastruktur di Indonesia
masih sangat kurang, baik dari segi jumlah, kapasitas ataupun penyebarannya.
Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 144 negara yang infrastrukturnya terbilang
bagus. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur
di Indonesia masih terbilang minim dan perlu adanya percepatan pembangunan.
Untuk mewujudkan itu semua
dibutuhkan dukungan dana yang tidak sedikit. Dalam keadaan ekonomi saat ini
yang semakin melemah, serta anggaran yang telah ditetapkan dari APBN masih belum
mampu untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Maka, dibutuhkan suntikan dana segar dari
dalam negeri guna mempercepat pembangunan yang sedang digarap. Langkah ini sangat
perlu dilakukan, mengingat ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada kondisi
perekonomian global. Mau tidak mau, pemerintah harus memutar otak guna membangun
kekuatan finansial dari dalam negeri.
Tax amnesty hadir untuk menjadi suatu jawaban yang sangat tepat di tengah momentum saat ini. Target
utama dari penjaringan tax amnesty ini adalah uang orang-orang Indonesia
yang kaya yang disimpan di luar negeri. Dana inilah yang nantinya diharapkan menjadi
support dalam proses pembangunan infrastruktur. Tidak bisa hanya bergantung
pada sektor komoditas saja. Sebab, sejumlah komoditas masih bergantung pada keadaan
ekonomi dunia yang saat ini mengalami perlambatan.
Dana repatriasi dari kebijakan
tax amnesty ini, oleh pemerintah ditargetkan untuk mencapai Rp. 1000
triliun. Hasilnya kemudian akan didorong
untuk memenuhi pendanaan sektor pembangunan riil, salah satunya pembangunan infrastruktur.
Namun terlepas dari itu semua,
pemberlakuan tax amnesty tentu tidak akan berjalan mulus begitu saja. Akan
ada wajib pajak yang tidak bertanggungjawab yang akan melanggar kebijakan tax
amnesty dan mencari celah kelemahan dari penerapannya. Tidak menutup kemungkinan
akan terjadi potensi untuk memanipulasi data dalam penjaringannya di lapangan .Karenanya,
jangan sampai pengampunan pajak dijadikan momentum untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan
sejumlah harta yang belum dilaporkan atau ditempatkan di luar negeri.
Potensi Manipulasi
Secara prinsipnya, setiap
wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan pajak. Artinya, ini merupakan pilihan
bagi siapa saja yang ingin mengikuti tax amnesty. Bagi yang tidak mengikuti,
Ditjen Pajak telah memberikan fasilitas pembetulan Surat Pemberitahuan
(SPT) yang berguna sebagai pembetulan pajak.
Pengampunan
Pajak ini diberikan kepada seluruh Pajak yang timbul atas pengungkapan harta
yang diajukan pengampunan, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), serta penjualan atas barang mewah (PPnBM). Dengan disahkannya UU
Pengampunan pajak serta pembebasan membayar denda atas pajak yang belum dilaporkan,
maka potensi bagi wajib pajak untuk memanipulasi data sangat terbuka.
Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan tax amnesty, sangat diperlukan kejujuran dari wajib pajak.
Pihak pemohon amnesti harus melaporkan dengan sebenar-benarnya mengenai aset
yang belum dilaporkan sebelumnya dan investasi aset repatriasi yang ada di dalam
atau di luar negeri. Pemerintah selaku pengawas harus memperketat pengawasan dan
berkerja sama dengan berbagai pihak untuk turut mengawasi perjalanan praktik tax
amnesty, tidak hanya melibatkan pihak internal Direktorat Jenderal pajak saja.
Dirasa sangat perlu kiranya bekerja sama dengan penampung aset repatriasi,
pihak-pihak yang terkait dan bahkan dengan masyarakat.
No comments:
Post a Comment